Saya gagal memahami sikap yang mengecam aksi kekerasan, pembunuhan, bahkan diskriminasi dan pengucilan pada mereka yang dicap sebagai "teroris", simpatisan atau keluarganya, namun melakukan hal yang sama pada "komunis".
Saya gagal memahami mereka yang mengecam stigma pada kolektor buku atau DVD jihad --yang dengan serampangan dianggap teroris-- tapi dengan mudah percaya pada sihir bahwa lambang palu arit di sebuah kaos (entah milik Cina atau Vietnam), dianggap kebangkitan PKI di Nusantara.
Seolah mengoleksi buku jihad itu belum tentu teroris, tapi membaca Karl Marx pasti komunis.
Mereka percaya, bahwa 500 ribu sampai 3 juta jiwa yang dibantai setelah 30 September 1965 itu adalah orang yang berbondong-bondong mendatangi rumah jenderal Angkatan Darat di Jakarta dan terlibat dalam pembunuhan.
Atau percaya, bahwa sejumlah itulah --dan keturunannya yang lahir satu atau dua dekade kemudian-- yang terlibat dalam konflik tanah atau agraria antara 1960-1965 dengan kaum pemilik lahan yang kebetulan sebagian di antaranya adalah tokoh agama.
Mereka percaya bahwa yang konon tidak bertuhan itu jahat, dan yang bertuhan itu baik. Para penganut ketuhanan ini, belakangan ternyata saling bunuh dan saling usir di antara mereka.
Jadi Tuhan mana yang hendak dibela untuk menghibur diri dari kebiadaban?
(Dandhy Dwi Laksono)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar