Selama di perjalanan, membaca berbagai berita yang membuat miris nalar.
Pekan lalu, seorang Indonesia di pengasingan Swedia, Tom Iljas, ditangkap polisi Kabupaten Pesisir Selatan (Sumatra Barat) dan diusir dari tanah kelahirannya hanya karena ingin ziarah kubur orang tuanya yang menjadi korban kekerasan 1965.
Apa yang bisa dilakukan seorang kakek 77 tahun? Membangkitkan komunisme setelah negara sebesar Uni Soviet saja runtuh dan Cina berubah menjadi kapitalis?
Paradoksnya, ini adalah kabupaten yang sama, yang pernah saya filmkan memberi konsesi pengelolaan pantai secara privat kepada investor (asing) dan tak segan mengusir penduduk yang bukan tamu di resort bertarif dolar itu. Meski semua tahu, termasuk polisi, bahwa 200 meter dari titik pasang tertinggi adalah sempadan pantai, dan itu adalah tempat umum (publik) yang menurut UU Pengelolaan Pantai dan Kawasan Pesisir, tak boleh dikuasai oleh siapa pun. (Lihat Video Onde Mandeh)
Lalu kemarin ada kabar dari Salatiga, adik-adik pers mahasiswa yang ingin membedah sejarah 1965 dan menerbitkan majalah, dipanggil polisi dan diminta menarik kembali majalah yang sudah diedarkan.
Indonesia mundur 17 tahun ke masa kegelapan Orde Baru. Dan pelakunya masih polisi, yang biasanya gagal kalau diminta menunjukkan pasal mana yang dilanggar dengan menerbitkan majalah itu.
Mereka saja tidak menguasai UU Lalu Lintas dalam kasus Elanto Wijoyono di Yogya dan tidak paham aturan uang titipan tilang dalam kasus Adlun Fiqri di Ternate.
Bagaimana kualitas polisi yang seperti ini dibiarkan memegang tafsir tunggal atas sejarah yang terbukti banyak dipelintir rezim Orde Baru?
Awal Oktober, sebuah diskusi mahasiswa sejarah di Banyuwangi juga dilarang polisi dan tentara. Diskusi itu sedianya menghadirkan jurnalis yang telah melakukan penelitian tentang lagu "Gendjer Gendjer" yang diciptakan seniman Banyuwangi, Ahmad Arif, tahun 1940-an di masa pendudukan Jepang.
Berpuluh tahun lagu ini dianggap sebagai "lagu kebangsaan" PKI hanya karena sebuah film isapan jempol berjudul "Pengkhianatan G30S/PKI" menjadikannya lagu latar saat adegan penyiksaan para jenderal di Lubang Buaya yang juga hasil karangan.
"Gendjer Gendjer" adalah lagu rakyat yang pernah dinyanyikan di RRI di masa Bing Slamet atau Lilis Surjani tahun 1960-an. Ia pernah dipakai sound track film "Gie" yang juga telah lulus sensor.
Sebagai bentuk protes atas kebebalan yang terus dipelihara Negara dan aparatnya ini, saya menyanyikan "Gendjer Gendjer" di pasar terapung Sungai Martapura, diiringi secara spontan oleh Kerontjong Lentera, berkaos merah.
Iya, merah. Agar makin puas imajinasi dan fantasi aparat tentang kebangkitan hantu komunisme di Indonesia.
(Dandhy Dwi Laksono)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar