Sewaktu menjabat jaksa agung, Hendarman Supandji pernah menyebut penanganan kasus BLBI mirip dengan orang yang masuk hutan yang dipenuhi hantu. Hendarman mengatakan hal itu hanya beberapa jam setelah orang-orang KPK menangkap Urip Tri Gunawan karena menerima uang suap US$ 660 ribu Minggu sore, 2 Maret 2008. Airmata Hendraman menitik saat menjelaskan semua itu.
Urip adalah koordinator 35 jaksa yang dibentuk Kejaksaan Agung untuk menyelidiki kasus BLBI, dan jaksa yang kebagian tuga menangani kasus BLBI yang mengucur ke Bank Dagang Negara Indonesia milik bos Grup Gadjah Tunggal, Sjamsul Nursalim. Tiga hari sebelum ditangkap, Kejaksaan Agung sesumbar, tidak menemukan perbuatan tindak pidana korupsi dalam kasus BLBI termasuk pengucuran BLBI untuk BDNI milik Sjamsul, meskipun fakta berbicara lain: orang-orang KPK mencokok Urip justru di rumah Sjamsul Nursalim di Kebayoran Baru saat bertransaksi dengan Artalyta Suryani alias Ayin.
Nama yang disebut terakhir adalah istri mendiang Suryadharma, salah satu petinggi Gajah Tunggal. Dia pernah menjadi bendahara umum PKB. Keterlibatannya dalam kasus ini seolah membenarkan pernyataan Hendarman: skandal BLBI penuh hantu.
Melibatkan penguasa, banyak orang pintar di bidang moneter, para pengusaha jahat, dan orang-orang oportunis; skandal ini dipicu oleh krisis moneter yang berujung penutupan 16 bank [1 November 1997]. Bank Indonesia lantas memberikan banyak fasilitas agar krisis tidak merambat ke bank-bank lain. Antara lain mengucurkan Surat Berharga Pasar Uang Khusus, dan fasilitas diskonto I dan II kepada 48 bank. Total uangnya Rp 153,4 triliun tapi krisis semakin memburuk karena bank-bank yang dibantu ternyata juga busuk.
Ketika BPPN dibentuk atas desakan Dana Moneter Internasional, IMF, dimulailah restrukturisasi, meskipun ongkos yang harus dikeluarkan oleh negara malah membengkak hingga [saat itu] sekitar Rp 650 triliun. Dana ini dikucurkan dalam bentuk obligasi dan surat utang, dan celakanya, hampir seluruh tauke pemilik bank [saat itu] sudah kabur ke luar Indonesia.
Celaka yang lain, semua dana BLBI yang dikucurkan, sebanyak 21% diantaranya ternyata tidak ada jaminannya, dan yang ada jaminan sekali pun, sebagian besar [74%] tidak diikat dengan azas legalitas. Dalam sebuah jamuan makan malam di penghujung 2002, seorang pejabat BPPN menjelaskan, BPPN baru tahu soal ketiadaan jaminan itu setelah kembali mengotak-atik dokumen perihal BLBI, tapi sudah terlambat.
Menjelang dibubarkan [2004], BPPN [yang saat itu dikepalai Syafrudin Tumenggung] membuat “terobosan”: mengeluarkan release and discharge [R&D] alias surat keterangan lunas untuk para pemilik bank yang dianggap kooperatif. Itu terjadi di zaman Megawati jadi presiden dan banyak pemilik bank yang lantas menyepakati tawaran itu meskipun hasilnya tetap masih menjadi tanda tanya [barangkali] hingga sekarang.
Dalam klausul kontrak yang dibuat oleh BPPN, antara lain disebutkan, apabila para debitur sudah dinyatakan membayar utang [BLBI], mereka akan memperoleh pengampunan dari tuntutan pidana termasuk jika ada kemungkinan mereka menyelewengkan BLBI dan melanggar ketentuan batas maksimum pemberian kredit kepada kelompok usaha sendiri.
Selesai?
Dari sana justru muncul persoalan baru, sebab R&D yang dikeluarkan BPPN bertolak belakang dengan rekomendasi dari tim bantuan hukum BPPN. Antara Mei dan Juni 2002, tim hukum BPPN merekomendasikan ada 40 debitur kakap yang tergolong gagal bayar dan tak punya niat baik. Mereka karena itu harus diberi sanksi pidana atau perdata termasuk penyitaan aset pribadi dan memasukkan mereka ke bui.
Pada periode yang sama dengan keluarnya rekomendasi dari tim hukum BPPN, 12 debitur berkali-kali mendatangi BPPN untuk menyatakan keberatan atas jumlah utang yang disodorkan kepada mereka. Alasan mereka, jumlah utang yang dicatat BPPN tidak sama dengan yang catatan mereka. Kata akhirnya, disepakatilah akta pengakuan utang kendati dengan catatan: para debitur keberatan soal waktu pembayaran yang ditentukan BPPN.
Dengan kalimat lain, surat lunas dari BPPN sebetulnya adalah jalan pintas atau kompromi yang tidak menyelesaikan masalah dan cenderung menguntungkan para pemilik bank: uang negara ratusan triliun bukan hanya tidak kembali, tapi negara juga harus terus membayar bunga setiap tahun hingga setidaknya 10 tahun mendatang. Hingga akhir tahun 2012, pemerintah harus menyisihkan Rp70-Rp80 triliun [dari APBN] untuk membayar obligasi rekap BLBI dari total rekapitulasi perbankan yang totalnya mencapai Rp 422,6 triliun.
Itulah utang pemerintah yang harus dibayarkan kepada para cukong pemilik bank. Bila rata-rata setiap tahun dibayar Rp 80 triliun maka utang pemerintah kepada mereka baru akan lunas pada 2030 dan mencapai total Rp1.360 triliun.
Konon KPK menyelidiki skandal ini, tapi benar kata Hendarman, skandal ini penuh hantu. Dan di zaman pemerintahan yang konon sangat pro-rakyat dan anti-korupsi sekarang ini, menunggu para hantu membuat pengakuan tentulah akan menjadi konon yang lain. Kalau tak percaya, cobalah tanya Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, yang pekan lalu menyatakan kasus BLBI sudah tutup buku.
Soal apakah Luhut sudah melihat hantunya, tentulah itu cerita lain yang bisa melengkapi cerita Hendarman.
(Rusdi Mathari)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar