Detik menurunkan berita yang berjudul "Jokowi Bangun Rumah untuk Suku Anak Dalam, Berharap Tak Hidup Nomaden" isinya presiden yang sedang menyambangi masyarakat Suku Anak Dalam di Jambi menawarkan rumah dan berharap masyarakat Suku Anak Dalam tidak lagi hidup nomaden atau berpindah-pindah.
Sekilas berita ini baik-baik saja malah cenderung bagus. Orang rimba yang selama ini hidup di hutan akan diberi rumah. Tapi benarkah demikian? Bagi mereka yang akrab developmentalisme paham bahwa niat baik pemerintah soal kemajuan dan perbaikan sebuah kelompok masyarakat tidak selalu berujung dengan kebaikan.
Tapi bukan soal ini yang membuat saya bergidik ngeri. Kelompok pemuja developmentalisme memiliki cara pikir linier yang khas penjajah. Memiliki sindrom mesiah dan kegenitan kelas yang merasa bahwa pembangunan masyarakat haruslah disesuaikan dengan standar tertentu yang ditentukan oleh segelintir elit. Dlaam hal ini pemerintah.
Jokowi mengatakan pemerintah harus memberikan perhatian karena apapun lingkungan Suku Anak Dalam. Karena ruang hidup mereka yang lama sudah sekarang berubah menjadi sawit. Ini yang perlu dikelola lagi sehingga mereka mempunyai rumah tetap, tidak nomaden berpindah-pindah,
Anda sadar? Jokowi menawarkan pembangunan rumah suku anak dalam karena lingkungan tempat tinggal suku anak dalam telah menjadi ladang sawit. Keberpihakan negara dalam hal ini sudah jelas, alih alih membangun tempat konservasi bagi masyarakat adat yang terancam, pemerintah malah merelokasi dan memodernkan suku anak dalam dengan tujuan agar mereka tidak nomaden.
Jika anda merasa ini benar dan tidak ada masalah. Saya tidak tahu lagi harus bagaimana.
(Arman Dhani)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar