Beberapa waktu yang lewat, saat akan menonton pertunjukan Musik Kampungan di Bentara Bhakti Budaya, TIM Jakarta, beberapa laki-laki dengan gerak-gerik yang khas menawari saya membeli karcis pertunjukan. Saya menolak tawaran mereka karena sudah punya karcis, dan saya melihat wajah mereka agak kecewa. Tidak salah lagi mereka adalah calo tiket dan saya teringat pada tetangga saya di kampung yang pekerjaannya sama dengan mereka.
Namanya Pak Sumbra. Dia calo karcis bioskop pada zamannya.
Setiap sore, sejam sebelum waktu maghrib, dia akan selalu berangkat dari rumahnya ke gedung bioskop di dekat pasar, lalu membeli sejumlah karcis untuk dijual kembali kepada penonton untuk pertunjukan jam lima sore. Satu setengah atau dua jam berikutnya, dia kembali melakukan hal yang sama untuk pertunjukan jam tujuh. Terakhir, dia akan menjual karcis untuk jam pertunjukan jam 10.
Begitu seterusnya, yang dilakukannya setiap hari hingga di kota kami tak ada lagi gedung bioskop. Pak Sumbra dan calo-calon karcis bioskop di kota-kota kecil lainnya mati terlebih dulu bahkan sebelum era bioskop moderen muncul. Ketika bioskop moderen dibangun di banyak kota besar dengan sistem cluster, giliran calo-calo karcis bioskop di kota-kota besar yang harus tersingkir.
Kehadiran mereka dianggap benalu. Merugikan konsumen. Menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Dianggap tidak moderen, meskipun ketika mulai menekuni pekerjaan sebagai wartawan ekonomi, saya mulai mengenal calo dalam bentuk yang lain: broker atau pialang saham.
Mereka adalah orang per orang atau firma yang menjadi perantara jual beli saham di bursa saham untuk investor. Mereka itulah yang akan melakukan transaksi jual-beli saham berdasarkan keputusan investor, setelah sebelumnya memberikan rekomendasi tentang saham yang layak untuk dijual atau dibeli. Tapi berbeda dengan calo karcis pertunjukan seperti di TIM atau calo bioskop seperti Pak Sumbra, keberadaan calo saham dianggap bergengsi, bermartabat, diakui dan direkomendasikan oleh otoritas.
Beberapa broker saham [bisa juga disebut sebagai pedagang saham], malah membentuk perusahaan yang dikenal sebagai perusahaan efek atau sekuritas. Dan perusahaan-perusahaan semacam itu jumlahnya ada ratusan. Sebagian adalah milik negara.
Investor yang berminat bermain saham, tak bisa sembarangan membeli saham kecuali bekerjasama atau menggunakan jasa broker saham. Caranya dengan mendaftar terlebih dahulu ke perusahaan efek, lalu menyetorkan uang [saldo minimal] yang besarnya ditentukan oleh perusahaan efek itu. Misalnya Rp5 juta atau Rp10 juta.
Seperti halnya calo karcis bioskop, tentu para broker saham juga mendapat komisi, tapi dengan nilai yang jauh lebih besar. Komisi untuk mereka biasanya berkisar 0,3% dari nilai transaksi. Contoh, apabila seorang pemodal melakukan transaksi penjualan atau pembelian saham tertentu sebanyak lima lot [satu lot sama dengan 100 lembar saham] pada harga Rp3.000, maka komisi yang didapat oleh broker adalah Rp4.500.
Sepintas terlihat kecil, tapi transaksi di bursa tentulah bukan hanya dalam hitungan lima atau puluhan lot, melainkan ribuan lot dalam sehari. Karena setiap transaksi jual-beli saham di bursa harus melalui mereka maka komisi yang masuk ke rekening para broker saham juga bisa mencapai miliaran rupiah.
Sewaktu bisnis properti meledak di awal-awal 90-an muncul pula istilah broker properti. Sama dengan broker saham, para broker properti juga membentuk perusahaan, dan keberadaannya diakui dan dianggap sah.
Mereka biasanya menjadi perantara antara orang-orang yang membutuhkan rumah dengan penjual rumah, meskipun yang banyak terjadi adalah para broker membeli terlebih dahulu rumah yang dibangun oleh pengembang atau sebaliknya, lalu menjualnya kepada konsumen dengan harga yang tentu lebih mahal. Selisih harga atau komisi itulah yang menjadi penghasilan mereka. Kini, kehadiran mereka, antara lain bisa ditandai dengan munculnya banyak duaja di hampir banyak kompleks perumahan atau ruko, bertuliskan “Dijual Ruko 40 Lantai. Hubungi Fulan di Nomor XXXX.”
Broker yang lain adalah broker politik. Mereka adalah orang atau sekelompok orang yang pekerjaannya menghubungkan kepentingan politik orang per orang atau kelompok, dengan kepentingan politik orang per orang atau kelompok lainnya. Dalam beberapa kasus, calo-calo politik bisa dilakukan oleh perusahaan public relation atau PR [kehumasan]. Contohnya, seperti kasus pertemuan Presiden Jokowi dan Presiden Obama, yang hari-hari belakangan, sedang dihebohkan karena disebut-sebut menggunakan jasa Pereira International Pte. LTD., sebuah PR asal Singapura.
Kasus itu ramai dikutip oleh media di sini, setelah Michael Buehler mengungkapkannya di asiapacific.anu.edu.au. Buehler adalah dosen politik Asia Tenggara di School of Oriental and African Studies di London, dan dia menyebut pertemuan Jokowi-Obama terjadi berkat usaha calo yang membayar US$ 80 ribu.
Teknisnya, uang itu dibayarkan oleh Pereira kepada perusahaan PR asal Las Vegas, R&R Partner's Inc. Perusahaan yang disebut terakhir itulah yang harus bisa mendapatkan akses ke Gedung Putih, agar Jokowi dapat bertemu dengan Obama. Dan benar, Jokowi [bisa] bertemu dengan Obama meskipun hanya dalam waktu 80 menit. Bantah-membantah setelah peran calo itu terungkap, lalu susul-menyusul muncul dari pejabat Indonesia, dan juga Buehler. Entahlah keterangan siapa yang bisa dipercaya, tapi calo rupanya sudah menjelma dalam banyak bentuk dan nama.
Bahasa Indonesia menyebutnya dalam beberapa istilah: makelar, pialang, perantara, dan cengkau. Artinya sama yaitu orang yang menjadi perantara dan memberikan jasa untuk menguruskan sesuatu berdasarkan upah. Mereka adalah pemburu komisi, tapi sementara calo bioskop dan pertunjukan dilarang karena dianggap sebagai ekonomi biaya tinggi, calo-calo lainnya boleh ada dan dianggap sah termasuk calo untuk pertemuan antara Jokowi-Obama. Atau, jangan-jangan negara ini sebetulnya adalah negara calo?
#selasabahasa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar