Arisan berhadiah brondong atau laki-laki muda ternyata bukan gosip. Seorang perempuan setengah baya yang mengaku aktif ikut arisan di kalangan ibu-ibu jetset, mengkonfirmasi kebenaran adanya arisan brondong itu di acara “Curahan Hati Perempuan” Trans TV pagi tadi. Mereka, para brondong itu diperebutkan oleh para istri yang kesepian, ibu-ibu yang butuh pengakuan sosial, para perempuan yang bingung membuang uang mereka. Teknisnya bermacam-macam.
Sebelum arisan diundi, para nyonya itu akan pergi ke sebuah tempat dan menggelar pesta pribadi. Misalnya ke Bali. Di pesta itulah, setelah selesai mereka mengundi arisan, para brondong kemudian diminta tampil di depan mereka tapi tak ada penjelasan, bagaimana mereka tampil. Misalnya apakah sambil berlenggak-lenggok seperti para model di atas catwalk, atau malah mungkin harus menari striptis dengan hangan mengenakan cawat model boxer sembari menjulur-julurkan lidah.
Sewaktu para brondong itu tampil, peserta arisan yang mendapat giliran undian, lalu diminta memilih. Dan bila sudah dipilih, dia harus terlebih dahulu berdansa dengan si brondong disaksikan peserta arisan lainnya. Selanjutnya si brondong “boleh dibawa pulang” dan terserah si pemenang arisan: apakah hadiahnya hanya dijadikan pajangan, dipatut-patut sembari berseru “Ih kamu kok lucu sih,” dijadikan kawan tidur semacam guling atau bantal sambil dipencat-pencet, dijadikan anak angkat yang penurut tapi jagoan. Bebas dan brondong yang dipilih akan mendapat honor selain bisa bersenang-senang..
Tentu tak semua laki-laki muda bisa jadi brondong semacam itu. Untuk bisa jadi para brondong yang diperebutkan atau jadi hadiah para ibu-ibu yang kesepian itu, ada sejumlah kriteria yang mesti dipenuhi. Selain ganteng dan bersih, berotot, mereka sesuai sebutannya haruslah muda. Berusia antara 22 sampai 28. Tak ada penjelasan siapa yang menyeleksi mereka, kecuali ketika para brondong tampil untuk dipilih pemenang arisan, mereka wajib hanya mengenakan celana dalam. Tujuannya, apalagi kalau bukan untuk memudahkan ibu-ibu peserta arisan melihat otot-otot dan “otot” mereka.
Menyaksikan dan mendengarkan ibu beralis model alis Sincan bercerita di acara Maudy Koesnaedy itu, saya jadi teringat cerita tentang gigolo di awal 90-an. Di zaman itu, brondong atau laki-laki muda yang menjajakan diri muncul sporadis dan hanya bisa ditemui di beberapa restoran di beberapa pusat perbelanjaan di Jakarta. Salah satu restoran yang terkenal sebagai tempat “parkir” para gigolo berada di sekitar Blok M, dan itu bisa dimaklumi karena di Jakarta pada zaman itu, belum banyak pusat-pusat belanja dan Blok M nyaris menjadi pusat belanja satu-satunya yang cukup bergengsi. Mereka menjajakan secara mandiri dan disebut gigolo.
Di kalangan terbatas, waktu itu beredar info tentang ciri-ciri mereka. Antara lain, mereka biasa duduk menyendiri di satu sudut restoran dengan hanya satu botol minuman di meja mereka, sembari membaca koran atau meletakkan gulungan koran di meja. Tak ada yang bisa memastikan, sejak kapan “kode” di restoran semacam itu dimulai dan dari mana asalnya, tapi ibu-ibu yang kesepian [saat itu terkenal dengan sebutan tante girang], konon sudah maklum dengan “kode” itu. Bila mereka merasa cocok dengan penampilan dan tampang laki-laki muda yang dilihatnya, mereka akan menuliskan nomor telepon yang bisa dihubungi, alamat rumah, atau nomor kamar hotel untuk tempat bertemu, dan meletakkannya di meja laki-laki muda itu. Peraturannya sederhana: pada saat di restoran itu tak ada atau tak boleh berdialog. Percakapan hanya akan terjadi setelah mereka benar-benar bertemu.
Dipelihara para tante kaya dan sebagian punya relasi kuasa, konon membuat banyak dari para gigolo yang menjadi kaya, sebagian bahkan menjadi pesohor atau model. Tidak mengherankan karena itu, apabila banyak laki-laki muda yang punya tampang dan berbadan kekar tapi kere secara ekonomi, lalu mencoba peruntungan yang sama. Sebagian dari mereka ada yang kemudian benar-benar kaya, sebagian yang lain malah terpuruk menjadi penjual minuman atau koran, dilindas oleh Jakarta dan impian mereka mengubah nasib.
Pola pemasaran dari gigolo menggunakan “kode” koran dan minuman di restoran, belakangan hilang bertahap menyusul masuknya era ponsel. Mereka memanfaatkan ponsel untuk menjajakan diri dan keberadaan mereka kemudian semakin terkoordinasi di era maraknya gajet seperti sekarang, termasuk yang mungkin dipasarkan untuk menjadi hadiah di arisan ibu-ibu, seperti yang diceritakan bintang tamu di acara “Curahan Hati Perempuan” tadi pagi. Dengan cara semacam itu, seleksi mungkin menjadi lebih terukur. Tak mungkin laki-laki muda kerempeng atau gendut, kendati punya tampang dan sungguh-sungguh perlu mendapat sedekah, dapat masuk atau direkrut menjadi brondong atau gigolo.
Tak perlu bertanya, apakah para brondong sama dengan para gigolo, atau apakah “panitia” arisan brondong adalah germo. Mereka hanya memenuhi apa yang disebut sebagai hukum pasokan dan permintaan, supply and demand dari realitas sosial yang ada. Kenyataan semacam itu sekaligus gambaran paling nyata dari munafiknya kaum laki-laki. Sebagian dari mereka membungkus istri mereka sebagai perempuan baik-baik tak boleh disentuh laki-laki lain, sementara sebagai suami, mereka doyan nyosor perempuan lain termasuk istri orang lain. Beruntung kalau istri orang yang disosor bukan istri orang Madura, karena kalau itu yang terjadi, urusannya bakal panjang, dan bisa-bisa menambah panjang daftar ibu-ibu kesepian yang butuh brondong, gigolo itu. Salah satunya mungkin adalah janda yang ditinggal mati mereka.
(Rusdi Mathari)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar