Diangkatnya Gus Dur menjadi pahlawan nasional layak disambut dan disyukuri.
Mendengar kabar tersebut, penulis jadi menimbang kembali keganjilan yang penulis rasakan dari istilah "pasca-Gus Dur", sebagaimana termaktub dalam esai "Gus Dur sebagai Kata Kerja".
Sepertinya inilah saatnya memakai istilah "pasca-Gus Dur". Bukan apa-apa, tetapi untuk menjadikan Gus Dur sebagai tonggak baru penulisan dan kajian Indonesia, khususnya Islam Indonesia. Menggantikan Soeharto. Maka ke depan studi-studi (Islam) Indonesia itu akan berbunyi: "Bla bla bla in post-Gus Dur era". "Transitional justice in post-Gus Dur era"; "Interreligious relationship in post-Gus Dur era", etcetera. Dengan demikian, kita bisa menilai capaian kehidupan berbangsa dari capaian pada era Gus Dur, dalam segala hal: ekonomi, politik, antaragama, pemihakan terhadap buruh, rekonsiliasi dan pelanggaran HAM, dst.
Soeharto tak layak lagi jadi tonggak. Selain karena era Gus Dur merupakan puncak capaian Reformasi (meski gagal dan diamputasi di tengah jalan), hari-hari ini Soeharto kembali hadir di tengah kita. Kita belum benar-benar berada di era "pasca-Soeharto".
(Muhammad Al-Fayyadl)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar