Mengikuti berita terkait desakan terhadap PLN agar perusahaan pelat merah tersebut merevisi Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2015-2024, saya jadi paham dengan kegeraman Menko Rizal Ramli tempo hari atas proyek pembangkit listrik 35.000 MW.
Dalam RUPTL yang diminta untuk direvisi tersebut, dari proyek 35 ribu MW itu PLN sebelumnya diberi kewenangan untuk membangun pembangkit listrik 10 ribu MW. Namun, sesuai dengan arahan Jusuf Kalla dan Sudirman Said, kewenangan PLN itu telah dipangkas menjadi hanya 5 ribu MW saja, sementara sisanya, yang 30 ribu MW, merupakan jatah IPP (independent power producer), alias pengembang pembangkit listrik swasta.
Atas arahan tersebut, kementerian ESDM berdalih bahwa sebaiknya PLN fokus pada pembangunan infrastruktur distribusi listrik saja, sehingga urusan membangun pembangkit diserahkan kepada swasta.
Data tahun lalu, ketersediaan pasokan listrik terpasang kita ada di angka 53.585 MW, dimana 70 persennya disumbang oleh pembangkit listrik milik PLN, dan 20 persennya, atau 10.995 MW, berasal dari pembangkit milik IPP. Sisanya, sekitar 10 persen, ditutup oleh Private Power Utility (PPU) dan Izin Operasi (IO) non-bahan bakar minyak (BBM). Sebagai BUMN, kita bisa melihat bahwa PLN masih menguasai sektor hulu ketenagalistrikan kita.
Namun, dengan adanya rencana pemangkasan tadi, pada 2019, ketika proyek 35 ribu MW diharapkan telah selesai, penguasaan sektor hulu ketenagalistrikan antara PLN dengan swasta akan semakin mengecil, yaitu sekitar 47 persen berbanding 45 persen, dimana sisanya tetap ditutup oleh PPU dan IO tadi. Jika jatah PLN tidak dipangkas, setidaknya PLN masih menguasai sekitar 54 persen pembangkit listrik pada 2019, berbanding 40 persen milik IPP.
Dengan ataupun tanpa pemangkasan itu, sulit untuk menyangkal bahwa di balik proyek pembangunan pembangkit listrik 35 ribu MW itu ada usaha untuk menjadikan PLN hanya sekadar perusahaan penjual setrum belaka. Posisi itu kurang lebih mirip dengan Pertamina yang tinggal menjadi distributor BBM, yang tingkat penguasaan bisnis hulunya sangat kecil. Lebih jauh lagi, proyek itu merupakan usaha swastanisasi secara besar-besaran sektor ketenagalistrikan.
Seturut data PLN, proyeksi kebutuhan listrik pada 2019 angka beban puncaknya sebenarnya “hanya” mencapai 59.863 MW. Padahal, jika proyek 35 ribu MW ini selesai, kapasitas terpasang waktu itu mencapai 88.585 MW. Artinya, ada sekitar 40 persen kapasitas yang menganggur, karena bersamaan dengan proyek 35 ribu MW tadi juga ada proyek-proyek pembangunan pembangkit yang sudah berjalan lainnya.
Sampai di situ muncul pertanyaan, kenapa pemerintah terus ngotot dengan proyek pembangkit listrik 35 ribu MW, jika kapasitas yang dibutuhkan sebenarnya jauh di bawah itu?! Lalu, karena sebagian pembangkit listrik itu milik swasta, dan PLN merupakan satu-satunya distributor, siapa yang menjamin bahwa kapasitas menganggur (idle capacity) yang sangat besar itu tidak akan dibebankan kepada harga listrik yang dijual oleh swasta kepada PLN?!
Sesudah pengurangan subsidi listrik membuat sebagian masyarakat menderita, kita kini jadi tahu siapa saja yang sedang menyiapkan pesta.
(Tarli Nugroho)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar