Argumen-argumen ekonomisme dalam tarik-tarikan antara buruh dengan pengusaha yang saya baca cukup menarik dan mencerahkan. Intinya, interest/kepentingan pengusaha adalah mendapat laba, dan kepentingan itu terancam dengan naiknya pengeluaran untuk belanja tenaga kerja saat buruh menuntut upah naik.
Tak dapat dimungkiri, persaingan pasar tenaga kerja telah membuat banyak investor memindahkan modal ke luar negeri, contohnya Cina dan Vietnam. Saya lihat dengan mata kepala sendiri, bagaimana pabrik-pabrik tekstil di Bandung Raya sekarang berubah menjadi pemukiman atau pusat perbelanjaan. Artinya, gedung-gedung itu tak berubah jadi sektor produktif.
Saya kerap bertanya-tanya, bagaimana bekas buruh pabrik mencari penghasilan sekarang? Tetangga saya, misalnya ada yang menjadi pengemudi ojeg, juga ada yang buka warung kecil-kecilan. Tapi tetap sulit dibayangkan gambaran besarnya. Ke mana mereka sekarang? Apa yang pemerintah lakukan dengan gembosnya sektor industri yang menyerap tenaga kerja begitu banyak? Belum lagi menyiasati perubahan sosial budaya akibat lansekap ekonomi yang berubah.
Sebelumnya, menjamurnya pabrik di Bandung telah mengubah masyarakat agraris menjadi masyarakat semi-industri. Anak cucu petani tak lagi punya keahlian mengelola sawah karena mereka memilih jadi buruh. Sawah pun dijual. Setelah pabrik tak ada, tentu saja mereka tak bisa kembali jadi petani. Sawah berubah jadi beton, bertani pun sudah tidak bisa. Cukup adil juga rasanya jika memberi kesempatan argumentasi ekonomi untuk menilai tuntutan buruh secara proporsional.
Tapi selain soal ekonomi di atas, agaknya patut juga melempar pertanyaan kedua, terkait penilaian-penilaian moralistik yang kerap muncul saat buruh menuntut hak-haknya. Buruh kerap dianggap kemaruk karena selalu menuntut kenaikan upah. Ini sebetulnya ironis, sebab yang bertanya kaum upahan juga. Mengapa kita tidak bertanya, "Kok pengusaha tidak mau sih untungnya berkurang sedikit supaya pegawainya bekerja dengan senang?"
Mengapa kita tidak bertanya: "Apa harus ya gaji buruh pabrik, karyawan paling bawah, dan cleaning service itu cuma 1/10 gaji manajer atau 1/50 gaji CEO. Apa harus ya perbedaan keahlian diberi selisih puluhan kali lipat?" Atau mengapa tidak: "Kok tukang palak di tiap belokan dengan badge resmi pemerintah itu tak disikat saja, supaya 'alokasi suap' masuk ke kesejahteraan buruh?"
"How much is enough?" adalah pertanyaan yang sah saja ditanyakan pada buruh. Tapi sudahkah itu ditanyakan juga pada pihak-pihak lain, pihak yang justru amat pantas menjawabnya?
(Maulida Sri Handayani)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar