Menteri Rini mewacanakan soal gadai saham sebagai mekanisme divestasi saham Freeport. Sayangnya, mekanisme divestasi bukanlah pilihan bebas, ia tunduk pada UU. Bahkan meski IPO dimungkinkan oleh KK, tapi ada klausa di KK juga yang menyebutkan bahwa KK tunduk pada perundangan baru yang berlaku.
Oleh karena itu, gadai saham adalah wacana yang menerbitkan tanda tanya. Apalagi jika yang ditunjuk, salah satunya, adalah Inalum.
Kalau kita mundur lagi ke belakang, ketika proses nasionalisasi Inalum dari tangan Jepang masih berlangsung, kita tahu ada seorang tokoh, bekas pejabat, yang kini kembali jadi pejabat penting dan namanya disebut belasan kali dalam transkripnya Sudirman Said, yang ngotot sekali mengincar saham Inalum.
Sayangnya, pemerintah saat itu juga ngotot untuk menguasai 100 persen saham Inalum daripada membaginya pada swasta. Dan berhasil.
Hanya, meski kinerja keuangan Inalum terus membaik sejak menjadi BUMN pada 2013, namun kemampuannya masih dipertanyakan. Imajinasi bodohnya, tentu saja tidak lucu, jika sesudah membeli saham Freeport, Inalum kemudian harus IPO untuk menambah modalnya.
Di luar wacana pembelian saham Freeport oleh Inalum sebagaimana berkali-kali disebut Menteri Rini, Inalum sebenarnya adalah produk nasionalisasi yang berhasil. Laba bersih perusahaan ini setahun sesudah nasionalisasi melonjak lebih dari 200 persen. Oleh karenanya, tentu saja merupakan sebuah kemunduran bahwa sesudah kita punya pengalaman menasionalisasi Inalum dua tahun silam, pemerintahan saat ini justru seperti tak menunjukkan minat untuk sekadar membeli divestasi saham Freeport, kecuali baru belakangan ini.
Ada apa?!
(Tarli Nugroho)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar