Pagi ini saya baca berita tentang seorang anggota TNI yang menembak mati pengendara motor di Cibinong. Persoalannya sepele, serempetan kendaraan. Arogansi anggota militer macam ini tentu saja memuakkan. Ia memposisikan dirinya di atas hukum dan merasa bisa mencabut nyawa orang sesukanya sendiri.
Sebagian media menggunakan kata "oknum" untuk menyebut anggota TNI tersebut.
Saya kira, "oknum" ini salah satu kata dalam bahasa Indonesia yang digunakan secara ajaib oleh media. Ia muncul di berita-berita seolah sebagai pelindung anggota polisi dan TNI untuk membilas dosa-dosanya. Bagaimana tidak? Nyaris di setiap ada kejadian yang melakukan tindakan kejahatan seperti pembunuhan di Cibinong ini, sebagian media selalu menggunakan "oknum" untuk menyebut pelakunya.
Ajaibnya, penyebutan ini hampir tidak mungkin muncul jika yang melakukan tindak kejahatan orang-orang di luar polisi dan TNI. Misalnya, ketika buruh melakukan tindak kekerasan ketika demonstrasi, tidak akan ada yang menyebutnya sebagai "oknum buruh", ketika dokter melakukan malpraktik, tidak lazim juga media menyebutnya sebagai "oknum dokter".
Ketika ada seorang guru melakukan kejahatan, tidak ada yang menyebutnya sebagai "oknum guru". Bahkan ketika ada menteri yang korupsi, adakah media yang menyebutnya sebagai "oknum menteri"?
Kata "oknum" dipakai sebagai penegasan bahwa tindak kejahatan yang dilakukan adalah personal dan bukan merupakan tindakan institusi. Tapi ini malah lebih aneh. Katakan ada seorang pelaku kejahatan dan disebut sebagai "anggota TNI", Bukankah orang yang membacanya tidak serta merta akan menyebut kejadian tersebut sebagai tindakan institusi TNI?
Bahasa (media) memang perkara kuasa.
(Wisnu Prasetya Utomo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar