Duduk sendiri di bangku kafe di Kaliandra, memandangi gemerlap kota Surabaya yang jauh, aku mengingat malam kita di Le 58 di Menara Eiffel di musim gugur, dik. Itu restoran termurah yang bisa aku jangkau untukmu. Isi dompetku tak cukup mengajakmu menikmati de la crème de pois penuh kaviar atau framboise, krim vanila di Jules Verne yang angkuh. Kita lalu hanya makan salmon asap dan daging bebek panggang, tapi kita benar di sana, di balik kaca restoran di ujung menara Eiffel.
Engkau menciumiku, usai pelayan perempuan berambut blondi menuangkan anggur Les Celliers de Ramatuelle ke gelasmu tiga kali. Pasangan tua yang duduk di depan bangku kita tersenyum melihat tingkahmu.
Je t'aime kata mereka berulang-ulang saat melihat tangan kiriku masuk ke rok spanmu. Saat itu aku ingin bercinta denganmu di ujung Menara Eiffel, mengangkangi Arc de Triomphe, gerbang kemenangan yang pernah Churchill dan de Gaul bersumpah di bawahnya.
“Paris...Paris... Biarkan kami bercinta.”
Suaramu membuat seisi restoran menonton kita berciuman. Kulit wajahmu yang seputih almon memerah. Senyummu sentosa ketika aku terus meremas payudaramu dari balik blus putihmu.
“Mau tambah anggurnya Tuan?”
“Tambah sebotol femme de.”
“Ini gratis untuk Anda berdua.”
Paris di musim gugur telah membuat semua orang bergairah, tapi malam ini aku di Kaliandra. Duduk sendiri di kafe sambil memandangi lampu-lampu kota Surabaya yang jauh. Wangi kembang kenanga yang diterbangkan angin dari pokok-pokok cemara hutan, menggoda pikiran dan hasratku. Mengenangkan engkau yang menciumiku di bangku restoran Le 58 di Menara Eiffel. Paris atau Kaliandra memang tak ada bedanya bagi seorang laki-laki yang dirundung kerinduan.
(Rusdi Mathari)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar