Seminggu ini terjadi kegaduhan di kanal-kanal komunikasi penerima beasiswa. Kegaduhan ini berawal dari sebuah berita yang memuat kritik atas pengelolaan sebuah program beasiswa dan rencananya untuk mengalihkan pengelolaannya pada kementerian yang lain. Banyak orang ramai berkomentar. Tentu, karena kalau benar, dana beasiswa mereka mungkin akan terganggu (termasuk juga menganggu kekhusukan memamerkan foto jalan-jalan di luar negeri dan hasrat “berbagi insipirasi” kepada mereka yang sedang memendam hasrat yang serupa).
Lantas, mengapa kegaduhan yang sama tidak terdengar pada kasus pembantaian petani, pengusiran kelompok minoritas, pelarangan Aksi Kamisan, penjajahan atas Papua, dan banyak kasus ketidakadilan lainnya? Saya jadi teringat Pramoedya Ananta Toer yang menumpangkan harapnya pada pelajar dan pemuda(i): “Angkatan muda harus punya keberanian. Kalau tidak punya, sama saja dengan ternak yang hanya sibuk mengurus dirinya sendiri”.
Memperjuangkan cita-cita pribadi dan kelompok memang hak dan sebuah naluri survival yang wajar. Nah, buruh, misalnya, ketika menyampaikan tuntutannya juga ada dalam situasi yang sama: survival. Bedanya mungkin, kalau buruh itu “survival of the fittest”, kelompok “terpelajar” itu “survival of the pleasure”. Beda yang lain: tenaga murah buruh berkontribusi pada pajak negara untuk membiayai beasiswa, sedangkan sebagian “kaum terpelajar” berkontribusi nyinyir atau bahkan benci terhadap cita-cita buruh untuk hidup layak. Soal ini, lagi-lagi saya teringat Pramoedya: “Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan”.
Saya tidak ingin menggeneralisir, tapi kesan umum inilah yang saya tangkap.
(Roy Thaniago)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar