Umur laki-laki itu 83 tahun. Postur tubuhnya kecil. Bicaranya masih lancar dan bersemangat. Cenderung meletup-letup.
"Umur sampeyan berapa, Dik?"
Tiga puluh delapan tahun, Pak.
"Masih tua karir saya menjadi wartawan."
Berapa tahun Anda menjadi wartawan?
"Empat puluh tahun lebih." ujarnya sambil menyedot rokok kretek tanpa filternya. Dari situ, kisahnya dimulai.
Laki-laki itu ngobrol denganku sampai larut malam, di sebuah teras rumah yang sangat bersih, yang seakan sebutir debu pun tak pernah dipersilakan hinggap dan menempel.
Dialah yang sesungguhnya bernama Mathari. Secara formal menjadi wartawan pada tahun 1964, dan memungkasi karirnya pada tahun 1991. Tapi sepuluh tahun sebelumnya, dia sudah menjadi kontributor berbagai surat kabar di wilayah Situbondo. Lebih tepatnya, wilayah kerjanya di empat kabupaten: Situbondo, Bondowoso, Jember, dan Banyuwangi. Wilayah yang luas sekali.
Aku memasuki kota Situbondo dalam keadaan yang letih. Malam itu, di ambang antara tidur dan lelap, aku seperti mendapat bisikan, "Ke Timur... Ke Timur..."
Terbangun dalam keadaan serba tak menentu, aku keluar dari kamar, melewati tubuh Cak Amrullah yang tidur di lantai. Sementara Rus mendengkur keras sekali.
Pukul 2 pagi. Prigen dingin sekali. Sampai pukul 8 pagi aku hanya tercenung di kursi depan kamar. Ketika dua orang itu pergi sarapan, aku mencoba tidur lagi. Tapi tak pernah bisa benar-benar tidur. Hingga suara pesan dari sahabatku muncul di gawai: Sudah, jalan ke Timur saja...
Aku hanya mencuci muka dan menyikat gigi, lalu membereskan pakaianku. Tus dan Cak Amrullah sedang asyik bercakap di depan kamar hotel.
"Ke mana?" tanya Cak Amrullah.
Ke arah timur.
"Ke arah timur itu ke mana? Probolinggo, Situbondo, atau Banyuwangi?"
Belum tahu.
Mereka berdua lalu beranjak ke kamar, merapikan barang-barang mereka. Tepat di saat itulah aku teringat, mereka berdua berasal dari kota yang sama: Situbondo. Dalam hati aku berharap diberi isyarat untuk berhenti di Situbondo. Ingin mengantar mereka berdua ke rumah orang tua masing-masing, sekadar bersilaturahmi.
Sepanjang perjalanan, Rus dan Cak Amrullah banyak ngobrol. Sebagian dilakukan dalam bahasa Madura, sehingga aku tak begitu mengerti. Pikiranku sedikit kacau sehingga tak banyak bicara.
Aku hanya sempat mendengar kalau Cak Amrullah pernah mendaftar AKABRI. Tapi tidak lolos. Ya pasti tidak loloslah, batinku.
Dia bilang alasan mendaftar masuk AKABRI karena dendam. Sebab saat SMA, ketika sedang asyik membonceng pacarnya, dia ditilang polisi sehingga merasa malu karena ketahuan pacarnya kalau tidak punya SIM. Tapi saya tak begitu percaya ucapannya. Ketika SMA dia memang pengen menjadi tentara atau polisi.
Cak Amrullah sudah sampai babak akhir. Dari tetangganya, dia diberitahu supaya membawa uang 5 juta, saat mau berangkat ke Surabaya untuk mengikuti ujian babak akhir. Saat itu paruh tahun 1980an. Bukan uang yang kecil untuk anak seorang wartawan yang berdomisili di Situbondo. Orang tuanya hanya memberi 3 juta.
Dan benar. Di babak akhir itulah dia diminta membayar uang 5 juta agar bisa lolos menjadi taruna AKABRI. Dia menawar 3 juta. Petugasnya menjawab, "Ini yang mau membayar 7 sampai 10 juta banyak sekali. Kamu cuma 5 juta saja kok menawar!"
Penawaran buntu. Namanya tak nongol di pengumuman. Sepanjang perjalanan naik bis dari Surabaya ke Situbondo yang berjarak sekira 200 kilometer, Cak Amrullah menangis. Pukul satu dinihari begitu sampai di rumah, dia tak mau masuk. Sesenggukan di teras rumah. Pudar sudah impian menjadi seorang perwira.
Tak lama kemudian dia berangkat ke Bogor, sebab sebetulnya dia diterima PMDK di IPB. Hanya betah setahun di sana, lalu pindah ke Unibraw kuliah di Teknik Sipil.
"Aam itu pintar." ujar Pak Mathari di teras rumahnya, "tapi saya takut punya anak pintar. Saya selalu berdoa kepada Tuhan agar Aam jangan sampai terlalu pintar."
Rasanya aneh menurutku, mengapa ada orang tua yang takut punya anak pintar. Setahuku semua orang tua yang kukenal bangga jika anak mereka pintar.
"Adik saya itu pintar sekali, Dik. Adik laki-laki kandung saya. Dia SMP hanya dua tahun. SMA juga hanya dua tahun. Kuliah hanya 3 tahun. Cum laude. Sarjana hukum. Kebanggaan keluarga kami. Siang itu, saya hendak mengajaknya makan soto langganan saya. Tapi dia sudah meninggal dunia dalam keadaan sujud di atas sajadah."
Aku diam. Tapi segera melayangkan pertanyaan dengan hati-hati: Bukankah meninggal dunia di atas sajadah itu adalah kematian yang baik?
"Mungkin baik bagi Tuhan. Tapi rasanya bagi setiap orang tua, kematian anak adalah kematian. Titik. Tidak ada kematian yang baik dan yang tida baik. Semua kematian anak adalah tragedi."
Dia menyulut lagi sebatang kretenya. "Semenjak itu bapak saya tak mau bicara. Tak mau makan. Hingga dia meninggal dunia dalam kesedihan.... Saya tak mau Aam seperti itu."
Tepat di saat itu, Aam alias Cak Amrullah keluar membawa secangkir kopi. Lalu dia masuk lagi. Ngobrol dengan ibunya di depan televisi. Sementara Rus nampak sibuk dengan gawainya di ruang tamu.
"Aam tak pernah belajar. Tapi nilainya bagus semua. Dan saya khawatir dia akan seperti adik saya. Setiap malam saya berdoa agar dia tak seperti adik saya. Setiap saat saya berharap kepada Tuhan kalau saya tak sanggup menghadapi apa yang dialami oleh bapak saya."
Kami berdua diam. Aku menyeruput kopi. Berpikir sejenak untuk mengalihkan pembicaraan karena tiba-tiba aku teringat bapakku dan ibuku.
Cak Aam mulai menulis kelas berapa, Pak? Tiba-tiba aku mengikuti caranya memanggil anaknya. Mengganti Cak Amrullah dengan Cak Aam.
"SMA kelas satu. Tulisannya dimuat di koran Sinar Harapan. Ketika tulisannya dimuat, dia keliling kampung sambil menamerkan tulisannya ke semua tetangga, teman-temannya, sampai tukang becak. Honorariumnya: 2.500 rupiah. Besar sekali waktu itu. Karena SPP dia sebulan hanya 2.000 rupiah. Semenjak itu dia ketagihan menulis. Tapi saya juga takut dia menjadi wartawan..."
Kenapa, Pak? Bukankah Anda mencintai profesi wartawan.
"Ya, saya mencintai. Tapi secara ekonomi tidak akan kuat menghidupi keluarga. Kalau anak-anak masih kecil, cukup. Kalau sudah saatnya kuliah, gak cukup."
Hampir saja aku mau membantah karena banyak temanku yang menjadi wartawan, dan hidup mereka bukan hanya cukup tapi jug makmur. Beberapa bahkan amat makmur. Tentu dengan ukuranku. Hanya saja aku tak jadi membantahnya. Aku tak berhak menghakimi pengalamannya.
"Dan kalau jadi wartawan harus berani. Mentalnya harus berani. Dua kali saya mau dibunuh orang karena profesi saya. Orang pertama yang mau membunuh saya adalah Kapolres Situbondo saat itu. Seluruh orang Situbondo tahu itu. Orang kedua yang mau membunuhku seorang tentara, pangkatnya letnan satu."
Aku menunggu lanjutan kisahnya dengan penasaran.
Demikian sedikit kisahnya: Kapolres itu orang baru. Suatu saat dia membaca berita laporan Pak Mathari, tentang seorang mayat yang hanyut di sungai. Kapolres itu menilai, berita itu seakan menunjukkan kalau polisi tidak bekerja.
Pak Mathari dipanggil. Di depa banyak polisi, Kapolres itu meletakkan pistol. "Hei Mathari, sekarang kamu atau aku yang mati!"
Pak Mathari mau menjawab, tapi Kapolres itu menghardik, "Jangan bicara! Sekarang kamu atau aku yang mati!"
Tepat di saat itu, tiba-tiba ada seorang polisi masuk. Kapolres Situbondo segera memberi hormat. Ternyata yang datang adalah Kapolres Bondowoso.
"Mathari, kenapa kamu lama sekali tak main ke Bondowoso?" ucapnya ramah.
Kapolres Situbondo pucat.
"Ini kenapa ada pistol di atas meja?"
Pak Mathari segera menjawab, kalau dia sedang diterangkan bagian-bagian pistol oleh Kapolres Situbondo.
"Harga diri Kapolres itu masih kulindungi. Tapi tak lama kemudian dia dipindah." kata Pak Mathari sambil mematikan kreteknya di asbak.
Kalau yang dengan tentara, Pak?
"Saya sudah ditodong. Waktu itu ada kongres PWI di Pasir Putih. Saya jadi bendahara. Tentara itu juga jadi panitia. Dia minta duit. Tapi tidak kukasih. Dia todongkan pistolnya. Tapi tetap tidak saya kasih. Saya bilang kepadanya 'Pak, beda saya dengan kamu adalah jika saya sudah cabut acungkan celurit saya ke kamu, maka celurit itu harus menebas sesuatu. Bapak sudah mencabut senjata, saya tunggu apakah jadi meletus atau tidak'. Dia gemetar. Lalu menangis sambil meminta maaf..."
Rus bangkit menuju ke langgar yang berada di kompleks rumah Pak Mathari. Dia capek. Mungkin pura-pura mau salat padahal mau tidur. Jam menunjukkan pukul sebelas malam lebih sedikit.
"Adik sudah beristri?"
Sudah, Pak...
"Istri saya orang hebat, Dik. Dia tidak pernah menuntut saya ini dan itu."
Aku tersenyum. Tiba-tiba aku kangen istriku.
"Seorang laki-laki boleh melakukan kesalahan apapun, tapi jangan sampai salah memilih seorang istri."
Aku mengangguk. Seorang perempuan juga begitu, Pak. Ucapku. Tapi hanya dalam batin.
"Istirahat, Dik... Pasti capek naik mobil dari Prigen ke Situbondo. Jangan tidur di langgar. Tidur di kamar.
Saya mau tidur di langgar saja, Pak. Sambil mengenang masa kecil.
Dia tertawa.
(Puthut E.A.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar