Ratusan warga Palu, Sulawesi Tengah, menyaksikan pertunjukan teater mahasiswa Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, di pantai Talise, Palu (6/10).
Adegan dalam aksi ini menggambarkan dampak proyek reklamasi pada nelayan dan penambak garam di Teluk Palu.
Sejak 2012, pemerintah Kota Palu mulai memberi izin reklamasi seperti di pantai Talise (38 hektare) dan pantai di Kelurahan Lere (24 hektare) untuk perhotelan, pertokoan, sarana rekreasi, pusat perbelanjaan dan bisnis.
Seperti halnya di Teluk Benoa (Bali), pemerintah Palu beralasan terjadi sedimentasi (pengendapan dan pendangkalan) di pesisir Palu hingga 1,8 juta ton per tahun dari Sungai Palu. Di Bali, argumen ini digunakan sebagai pembenaran untuk sekalian menguruk dan membuat kanal-kanal aliran air di antara pulau reklamasi.
Faktanya, areal reklamasi itu sendiri kerap tak ada sangkut pautnya dengan penyelamatan lingkungan, selain memfasilitasi ekspansi properti seperti di Manado, Ternate, Makassar, atau Kupang.
Sembari menunggu kapal yang akan membawa kami ke Kalimantan, kami akan memotret bagaimana reklamasi berdampak pada produksi garam tradisional.
Ada 19 hektare lahan tambak garam di kota Palu yang telah ditawarkan-tawarkan kepada investor. Para keturunan penambak garam ini ingin membagi warisan tanah, juga karena kualitas garam yang terus menurun.
"Sekarang kualitasnya sudah seperti ini," ujar Umar, salah satu penambak di pesisir Teluk Palu sambil menunjukkan garam berwarna kecoklatan karena pengaruh air laut.
"Sejak ada ini," pungkasnya sambil menggerakkan dagu menunjuk areal reklamasi pantai Talise.
Ekspedisi Indonesia Biru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar