Mari kita ganti posisi Adlun Fiqri dengan seorang jurnalis yang bekerja untuk sebuah stasiun TV atau media online. Atau seorang fotografer koran dan majalah.
Adlun adalah warga Ternate yang mengunggah video dugaan pungli polantas, dan karenanya ia justru ditahan dengan jerat pasal UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Bila yang merekam adalah seorang jurnalis, tentu polisi akan berhitung. UU Pers pasal 4 ayat 2 menyebut dengan lantang bahwa "Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran."
Lalu ayat tiganya menyatakan, "Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi."
Sulit membayangkan, polisi berani menyentuh kamera jurnalis atau menyuruh menghapus isi rekaman dugaan praktik pungli. Atau mendatangi kantor media dan melarang menyiarkan. Atau menghapusnya dari dunia maya.
Sebab --bila negara ini masih ada dan hukum ditegakkan-- tindakan itu adalah kriminal dan diancam pidana dua tahun penjara atau denda 500 juta rupiah (Pasal 18).
Tapi ini Adlun. Pemuda ceking yang pernah saya lihat menggelar perpustakaan gratis di trotoar untuk anak jalanan di kota Ternate. Lebih ceking dan lebih pendek dari Joyo yang menghadang moge di Yogya. Adlun bukan jurnalis. Ia bukan --apa yang oleh Undang-Undang disebut dengan gagah sebagai-- Pers Nasional.
Maka dengan mudah polisi merampas telepon genggamnya dan mungkin dari sana mereka menghapus rekaman video itu dari akun youtube Adlun.
Bila benar ia akan terjerat pasal pencemaran nama baik di UU ITE, maka ancaman hukumannya enam tahun penjara, alias tiga kali lipat dari hukuman maksimal bila ada polisi yang berani menyentuh kamera wartawan.
Lantas, makhluk apa itu wartawan? Apa itu pers? Mengapa mereka sedemikian istimewa? Apa yang membuat mereka sangat dilindungi Negara dibanding warga biasa?
Jawabannya singkat dan terhormat: karena mereka bekerja untuk kepentingan publik.
Mereka tidak bekerja untuk kepentingan pengiklan. Mereka tidak bekerja untuk kepentingan politik pemilik medianya. Mereka tidak bekerja untuk melindungi kepentingan bisnis majikannya.
Do they?
(Dandhy Dwi Laksono)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar