Sebelum kami berpisah, sebagaimana biasa, aku dan Don Setyo makan dulu di soto buntut langganan kami di dekat bandara Juanda.
Hari belum siang benar, pengunjung sudah mulai ramai. Soto buntut goreng yang kami pesan datang tepat di saat seorang perempuan turun dari mobil sedan mewah. Dia pesan 10 porsi dibungkus.
Aku baru saja memeras jeruk nipis di atas mangkuk ketika perempuan berjilbab, berkacamata, berwajah putih, dan berumur kira-kira 50 tahun itu bertanya dengan suara yang keras ke arah penjual soto. Suara yang sengaja dikeraskan untuk menarik perhatian.
"Semalam menonton film pengkhianatan PKI di kantor Koramil?"
Penjual soto yang sedang sibuk bekerja tidak mendengar. Mungkin seandainya mendengar, dia juga tidak tahu kalau pertanyaan itu ditujukan kepadanya.
"Pak! Dengar pertanyaan saya?!"
Suaranya cantas terdengar makin keras. Melengking. Penjual soto yang setiap hari menghabiskan satu kuintal buntut sapi itu melengak. Wajahnya seperti bingung.
"Saya tanya ke sampeyan, semalam menonton film pengkhianatan PKI di kantor Koramil?!"
"Tidak, Buk..."
"Lha kok tidak. Sekarang nonton film itu wajib lagi!"
"Wah, ndak tahu kalau wajib, Buk..."
Don dan aku urung makan. Mencoba menyimak.
"Kalau sampeyan, Dik?!" Perempuan itu bertanya ke seorang pelayan yang siap mengedarkan mangkuk-mangkuk mengepul dengan aroma wangi bumbu. Pelayan itu grogi sejenak. Lalu menggelengkan kepala.
"Wah kalian ini tidak tahu kalau sebentar lagi PKI bakal memberontak lagi!" Kepala perempuan itu memutar, memandangi orang-orang yang sedang makan. Memandang aku dan Don. Tapi lalu kembali ke arah penjual soto.
"Anak-anak sekarang ini sudah banyak yang tidak tahu kekejian PKI!"
Orang gila dari mana itu, tanyaku ke Don.
"Gak tahu. Kemasukan setan dari perempatan dekat sini paling." jawab Don yang akhirnya kembali bertarung dengan makanan di depannya.
"Nanti kalau PKI sudah memberontak lagi, baru kalian tahu rasa."
Taek, desisku.
"Kalau nanti kalian gak boleh menyembah Tuhan lagi, baru tahu rasa!"
"Asal masih boleh makan soto buntut di sini," desis Don tidak mau kalah.
Kami cekikikan.
Akhirnya tuntas makan kami, dan perempuan itu masih terus sesekali mengeluarkan kalimat tentang kekejian PKI. Aku mendekat ke arah penjual soto, memesankan satu porsi soto buntut untuk Rus yang masih tertidur di rumah Dono.
Dibungkus satu, Cak...
"Pakai lontong atau nasi?"
Pakai PKI. Eh, pakai nasi. Jawabku. Sambil melirik ke arah perempuan itu. Suara sengaja kukeraskan. Dono terdengar tertawa ngikik.
Mata perempuan itu mendelik ke arahku. Aku pun mendelik ke arahnya. Tapi semua diselamatkan cepat oleh penjual soto itu dengan memberikan pesanan yang kuminta, lalu saat aku membayar, dia cepat memberikan kembaliannya. Tak mau ada rusuh di warungnya. Mungkin.
Saat keluar dari warung, aku sempat bersuara agak keras bertanya ke Don, kamu masih PKI?
"Enggak, aku BTI."
Terus kami tertawa ngakak sambil menuju ke arah mobil. Sepanjang perjalanan kami berdua tertawa ngakak. Salah siapa enak-enak makan, diganggu.
Usai menunggu sejenak Rus makan kemudian mandi, kami berdua melanjutlan perjalanan.
Rus, aku belum tidur sama sekali. Rasanya juga masuk angin. Kita tidur di Bangil ya.
Dia mengangguk. Sampai di Bangil, dia membelokkan mobil di sebuah penginapan kecil. Setelah mengurus kamar, aku rebahan sambil meminta tolong Rus untuk mencari tukang pijat.
Cukup lama Rus mencari tukang pijat. Akhirnya dia datang bersama seorang laki-laki tirus, berkumis agak ganjil. Sebelah kanan lebih panjang dari sebelah kiri. Dia memakai kopiah haji.
"Kecapekan ya, Dik?"
Aku mengangguk sambil membuka baju dan tengkurap. Lampu penginapan remang.
Rus, jangan pergi dulu ya... Nanti makan malam seusai aku pijat.
"Ya, Mas. Tapi aku mau beli sandal jepit dulu."
Jangan lama-lama.
Rus menutup pintu kamar dari luar.
Pijatan itu terasa sakit benar. "Sering ke sini, Dik?"
Aku mengiyakan.
"Sering menginap di sini, Dik?"
Baru sekali.
"Hati-hati kalau menginap di sini, Dik..."
Dia lalu bercerita. Beberapa minggu lalu, ada orang yang menginap di sini, dirampok di dalam kamarnya.
Kok bisa?
"Dia kecapekan, lalu memanggil tukang pijat. Lalu tukang pijat itu membiusnya. Setelah tamu itu sadar, semua barang-barangnya telah lenyap."
Pijatan makin terasa sakit. Terutama saat nemijat daerah bahu. Nafasku seperti sesak.
Kamar terlihat makin remang. Pijatan makin keras, menuju tengkuk. Tiba-tiba tangan pemijat yang kokoh itu menekan leherku, badannya kemudian menghimpitku.
Aku gelagapan. Nafasku sesak. Aku mau menjerit tapi tidak bisa. Aku berusaha melepas tangannya di leherku, kakiku menendang ke berbagai penjuru. Tapi semua seperti sia-sia.
Tiba-tiba pintu terbuka. Rus datang. Dia meletakkan bungkusan.
"Adik ini kecapekan. Barusan tertidur waktu kupijat, tapi kayaknya mimpi buruk..."
Pemijat itu masih memijatku dengan tenang. Perlahan nafasku berangsur tenang. Rus kulihat meringis. Aku tertidur dan bermimpi.
Lama sekali beli sandal, Rus...
"Sambil ngopi, Mas..."
Usai pijat, kami berdua keluar makan. Ketika balik lagi ke penginapan, di salah satu sudut di dekat kamar kami, ada beberapa orang muda sedang bercengkerama. Dari dalam kamar aku mendengarkan obrolan mereka. Ternyata mereka adalah para wartawan dari berbagi media massa yang usai meliput Salim Kancil. Kebetulan mereka menginap di sini, dan hampir semua sama tujuan. Ingin menikmati kota santri ini, sembari berwisata kuliner mencicip makanan berbahan dasar daging kambing yang konon terkenal, dimasak dalam berbagai jenis masakan. Beberapa dari mereka ada yang kemudian mau berlanjut liburan ke Malang. Ada juga yang mau ke Bromo.
"Besok kita makan kambing ya, Mas..." Rus tampaknya terpengaruh oleh obrolan para wartawan itu.
Aku mengangguk.
Sebuah pesan masuk dari Don: Mungkin lusa, korannya sudah tidak menempatkan kasus Salim Kancil di halaman pertama.
(Puthut E.A.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar