Laki-laki muda itu dihardik bapaknya tadi malam di depanku ketika aku makan di warung mereka. Dia tertunduk. Mukanya memerah.
“Hoi lihat ke Abah kalau diajak bicara. Mau diajak dewasa, kelakuan malah kayak anak kecil.” Menggunakan bahasa Jawa, bapaknya yang menyebut dirinya sebagai “abah” itu, setengah berteriak memanggil laki-laki muda itu. Si anak mengangkat mukanya perlahan lalu menoleh ke bapaknya yang duduk berjarak agak jauh darinya. Mukanya masam. Dia melirik ke arahku, dan saat matanya berserobok denganku, aku tahu laki-laki muda itu tak suka dengan cara abahnya menghardiknya di depan umum. Di depanku.
Tadi malam itu adalah kali kedua aku berkunjung ke warung mereka. Tiga malam sebelumnya, aku makan di warung mereka sebab diajak kawan-kawanku. Kata mereka, penjaga warungnya cantik. Dan benar, remaja berjilbab penjaga warung itu memang cantik. Peranakan Arab. Usianya baru 18 tahun. Dia menjaga warung dan melayani pembeli bersama ibu dan kakak laki-lakinya, lelaki muda yang dihardik oleh abahnya tadi malam itu.
Dilihat dari wajahnya, aku menduga, abah mereka adalah keturunan Arab. Perawakannya besar. Dia datang ke warung dengan berboncengan sepeda motor bersama ibu mereka, seorang perempuan Jawa yang hidungnya pesek; saat aku tengah menyantap makananku.
Beberapa menit sebelum mereka datang, anak gadis mereka yang melayaniku bercerita, dia baru lulus pesantren. Kakak laki-lakinya yang datang terlambat tersenyum melihatku. Mungkin karena dia merasa kenal denganku setelah aku mengajaknya mengobrol ketika aku makan di warung mereka tiga malam sebelumnya. Dan baru saja anak muda itu masuk ke warung, Si Abah yang sudah menunggu menghardiknya.
“Kalau Abah ngomong dengerin. Ini penting buat hidupmu.” Anak muda itu duduk. Menunduk dan memainkan tangannya.
“Mau jadi apa kamu hah? Adikmu jaga warung, kamu keluyuran. Pulang sampai malam.” Si Abah terus nyerocos. Tak sepatah kata pun keluar dari mulut anak muda itu.
“Hanya anak harim Abah yang benar. Yang laki-laki bajingan semua.” Si ibu yang duduk di sebelah si Abah mencoba menenangkan. Mengelus-elus dada suaminya. “Istigfar Bah. Istigfar.”
“Biarin. Anak ini harus diberi pelajaran. Harus dikasih tahu mana yang benar. Semua anak laki-laki Abah ini produk gagal.” Si Abah belum selesai meneruskan omongannya ketika lelaki muda yang dimarahinya berdiri lalu berkata lantang.
“Kalau aku produk gagal, siapa yang membuatku?”
“Kamu nantang Abah hah?”
Tangan Si Abah yang di dua jarinya terlihat dua cincin akik berukuran cukup besar terangkat seperti hendak menghajar kepala anak muda itu. Si anak hanya diam saja. Matanya nanar menatap bapaknya. “Jangan mendelik begitu ke Abah.”
Aku segera menuntaskan minumanku dan membayar biaya makan dan minumku pada adik perempuan lelaki muda itu. Aku tak sanggup dan tak bisa mencerna kata-kata laki-laki Arab itu yang menghardik anaknya sebagai “produk gagal.” Aku sungguh tak paham maksudnya.
Saat aku beranjak meninggalkan warung mereka, laki-laki muda itu berdiri, melihat padaku dan berusaha tersenyum. Aku tahu dia malu. Dipermalukan. Dan perutku yang terisi nasi setengah piring, tempe bacem, sepotong dada ayam goreng dan sup, tiba-tiba terasa mual. Pikiranku terbang lalu hinggap pada wajah bapak di kampung, pada wajah anak laki-lakiku di Jakarta, pada wajah diriku.
“Papa sudah makan? Papa ngerjain apa di Bangil?” Voja anakku bertanya lewat SMS saat aku menyeberang jalan di depan warung itu. Saat itu memang jam kami makan malam bersama di rumah.
(Rudsi Mathari)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar