Kampanye revolusi mental (dengan pesan-pesan abstrak) tahun ini dianggarkan 149 miliar rupiah di mana 130 miliar di antaranya untuk placement iklan di media, terutama TV.
200 juta lainnya untuk membangun situs revolusimental.go.id.
Bagaimana sebuah ajakan mengubah pola pikir dilakukan melalui medium yang justru harusnya lebih dahulu direvolusi: industri televisi?
Struktur kepemilikan media, terutama industri televisi yang oligarkis, telah menyuguhkan tontonan yang semata-mata berbasis pada "pasar iklan" yang tahun ini mencapai 120 triliun rupiah.
Ada sekitar 500 media di Indonesia yang dikuasai oleh 12 kelompok usaha saja (CIPG, 2012). Catatan Amir Effendi Siregar menyebut ada sekitar 200 izin televisi (dari Jakarta hingga daerah) yang terkait dengan lima pemilik saja.
Padahal UU Penyiaran jelas melarang kepemilikan ganda. Nyatanya, dengan dalih yang dimilki adalah saham badan usahanya (bukan frekuensinya), seseorang bisa memiliki 2-3 stasiun televisi yang bersiaran nasional, berikut anak-cucunya di daerah-daerah.
Pemusatan kepemilikan ini berujung pada keseragaman tontonan, di mana 60 persen konten siaran berpusat dari dan untuk Jawa (CIPG, 2013), karena demografi konsentrasi penonton yang jadi sasaran iklan.
Tontonan TV yang bias kehidupan urban lewat sinetron, standar nilai bahwa "manusia yang berhasil adalah yang kaya secara materi" atau kegagalan membedakan urusan publik dan privat lewat tayangan infotainment, adalah contoh bagaimana pola pikir masyarakat Indonesia dipengaruhi.
Termasuk konten-konten tentang kekerasan dan intoleransi, misalnya.
Izin TV lokal diobral pada pengusaha Jakarta, sehingga tak ada ruang mengembangkan konten-konten yang dianggap "tidak laku oleh pengiklan Jakarta".
Keragaman budaya dan kekayaan alam hanya menjadi pemanis visual tanpa memberi ruang yang cukup pada esensi nilai-nilai mereka menghadapi problem-problem riil kebijakan publik. Tak perlu ada yang dibenturkan sebab semua memang hanya diarahkan agar hotel, maskapai penerbangan, atau situs perjalanan mau memasang iklan.
Kritisisme yang diusung media hari ini, terutama TV, adalah kritisisme dalam bingkai rivalitas antar-pemilik dan patron-patron politiknya. Bukan kepentingan publik.
Maka Agustus lampau, seorang pemilik TV yang selama Pemilu 2014 menjadi media partisan, justru mendapat Bintang Mahaputra Utama sebagai "tokoh pers".
Presiden Joko Widodo atau Menteri Puan Maharani jelas rabun dekat. Medium pengguna frekuensi publik yang mestinya direvolusi, justru diguyur uang iklan "revolusi mental".
(Dandhy Dwi Laksono)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar