Beng Bukan Bank
Siapa yang mau menabung tanpa bunga?Ada 180-an orang yang mau. Sebagian besar petani atau peternak yang tinggal di Kemukiman Saree, Kecamatan Lembah Seulawah, Kabupaten Aceh Besar. Sekitar 78 kilometer dari Banda Aceh.
Tahun 2014 lalu, terkumpul uang sekitar 130 juta rupiah yang dipinjamkan kembali kepada nasabahnya dengan sistem bagi hasil, tanpa embel-embel “syariah”.
Sebab, secara adat, masyarakat Aceh telah memiliki konsep ekonomi sendiri yang disebut “mawah” atau kerjasama usaha dan bagi hasil. Aturan mainnya hampir sama dengan yang berlaku secara tradisional di berbagai tempat di Nusantara, yakni pemilik modal dan penggarap membagi rata keuntungan (50:50).
Tapi Beng Mawah “lebih radikal”. Pemodal hanya mendapat 30 persen, dan 70 persen untuk penggarap. Kata “Beng” ditambahkan sebagai adaptasi pelafalan kata “bank” di lidah masyarakat Aceh. Tapi praktiknya, berbeda dengan bank umum, bahkan bank syariah.
Perhatikan bagaimana sistem keuangan mereka bekerja:
Bila Anda ingin mulai musim tanam jagung dan perlu membayar tenaga kerja untuk menyiapkan lahan dan membeli bibit, sebagai anggota, Anda bisa mengajukan pembiayaan (kredit) kepada Beng Mawah. Sebut saja lima juta rupiah, dengan menyertakan rinciannya.
Hal pertama yang dilakukan Beng Mawah bukan menanyakan agunan atau jaminan (karena memang tanpa jaminan), tapi mensurvei dan memastikan apakah Anda benar-benar akan menanam jagung dengan rincian yang dimaksud.
Beng Mawah bahkan akan membeli sendiri bibit atau pupuk untuk sang debitur.
Setelah panen, 3-4 bulan kemudian, barulah pinjaman dilunasi dengan pembagian 70 persen untuk peminjam, dan 30 persen untuk Beng Mawah. Di akhir tahun, 30 persen ini akan kembali ke semua anggota atau nasabah dalam bentuk sisa hasil usaha setelah dikurangi biaya operasional lembaga.
Bagaimana bila panen gagal?
“Kalau karena faktor alam, kami akan beri pinjaman baru agar anggota tetap bisa berusaha. Tetapi pinjaman lama tidak dihapuskan, karena kami belum sanggup (mencadangkan dana) untuk risiko seperti itu,” papar Nurdin Juned (41), pengawas Beng Mawah yang juga petani setempat.
Dari sistem bagi hasil pembiayaan inilah, tahun 2014 lalu, Beng Mawah yang berbadan hukum koperasi, punya sisa hasil usaha (SHU) sembilan juta rupiah yang dibagikan kepada anggota (nasabah). Salah satunya karena mereka tidak memiliki beban membayar bunga tabungan (cost of money).
Begitu juga dengan usaha penggemukan sapi. Bila ada peternak yang berminat, Beng Mawah bisa membelikan beberapa ekor sapi dengan syarat peternak tersebut memiliki lahan yang cukup untuk jaminan ketersediaan pakan (hijauan).
Seekor sapi muda pun dibeli seharga 10 juta rupiah, seperti yang sedang dipelihara oleh Ibrahim (26). Delapan hingga sepuluh bulan kemudian, sapinya laku hingga 17 juta rupiah. Dalam sistem “mawah” konvensional, biasanya keuntungan tujuh juta langsung dibagi dua (50:50). Tapi di Beng Mawah, mereka hanya mengambil sekitar 2,1 juta atau 30 persennya.
“Itu pun dengan sistem pendampingan untuk kesehatan ternak. Kalau sapinya sakit, Beng Mawah yang membantu,” tandas Nurdin.
Lalu dari mana modal awalnya?
Oktober 2012, 18 perempuan dan ibu-ibu sepakat membentuk lembaga pembiayaan bersama yang lepas dari bantuan lembaga lain seperti Saree School yang selama ini membantu. Mereka didukung para suami yang belakangan bergabung. Maka 30 orang itulah para “founding mothers and fathers” dari Beng Mawah.
Untuk usaha penggemukan sapi, mereka mendapat bantuan awal dari Bank Indonesia sekitar 200 juta rupiah, dan terus bergulir.
“Kalau dibandingkan dengan bantuan-bantuan pasca-tsunami lainnya, alhamdulillah kami masih terus bertahan,” pungkas Nurdin.
Beng Mawah bergerak lebih agresif. Melalui usaha kelompok tani, mereka mengolah sendiri jagung pipil dan memproduksi pakan ternak untuk mengurangi ketergantungan ekonomi dari pihak lain (bersambung).
Ekspedisi Indonesia Biru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar