Meski baru sebatas tulisan di papan reklame, tapi cukup senang mendapati ini di tepi danau Laut Tawar, Aceh Tengah. Nilai agama terkait dengan kehidupan manusia sehari-hari, dan tak hanya ihwal simbol-simbol identitas atau ritual ibadah.
Sejak sebagian manusia tak lagi mengkeramatkan pohon atau sumber air (karena memeluk agama-agama baru), mereka justru yang lebih dahulu kehilangan daya dukung lingkungannya.
Air yang tadinya gratis tinggal minum dari sumur, sekarang harus membeli karena merosotnya kualitas lingkungan. Terjadilah ketergantungan ekonomi baru.
Ajaran "janganlah membuat kerusakan di muka bumi", kalah menarik dengan ide "manusia adalah khalifah (pemimpin) di muka bumi", sehingga menempatkan dirinya dalam relasi berkuasa dan menguasai terhadap binatang atau tumbuhan.
Tak jarang, karena menganggap dirinya makhluk superior, lalu terpeleset menjadi ingin dilayani alam. Bukan melayani sebagaimana esensi seorang pemimpin.
Dalam sebagian masyarakat, konsep "melayani alam" disimbolkan dengan sesajen atau kurban seperti masyarakat Dayak menyembelih anak ayam sebelum mulai musim tanam atau tidak menebang pohon tertentu.
Pada masyarakat lain seperti Baduy, ada konsep hutan larangan yang dikeramatkan. Atau masyarakat Hindu dengan sumber-sumber air tertentu.
Agama-agama baru yang menghapus konsep "keramat" sejatinya juga memiliki konsep yang sama dalam relasi manusia dan alam sebagai sumber ekonomi.
Tapi penganutnya lebih menyukai simbol. Termasuk bila papan reklame ini ternyata tak bergaung di masjid-masjid atau qanun-qanun (Perda) yang menegaskan bahwa khalifah itu juga harus melayani alam yang dipimpinnya.
*weekend serius*
Ekspedisi Indonesia Biru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar