Minggu, 18 Oktober 2015

Tuna-Kuasa

Presiden menolak kereta cepat. Lalu diselamati sebagai presiden pemberani, yang tegas menolak lobi Cina dan Jepang. Hebat sekali kesannya.

Kerontjong Lentera

Mereka bukan pengamen. Saat pasar terapung Lok Baintan (Kalimantan Selatan) sedang sibuk pagi itu, dari balik kabut, terdengar keroncong "Bengawan Solo".

Uya Kuya KW 13

Pukul dua dini hari, pintu kamar saya diketuk. Ini mengherankan sekali. Kalau ada teman saya yang mau berkomunikasi, tentu menelepon atau mengabari dulu. Kalau petugas hotel jelas tidak mungkin.

Kepekaan

Tadi siang saya ngisi diskusi tentang analisis sosial dan beberapa problem media penyiaran di depan mahasiswa baru fakultas hukum UI. Salah seorang mahasiswa bertanya, "kak, gimana cara menumbuhkan kepekaan sosial?". Saya jawab, "ya banyak cara. Salah satu cara yang paling sederhana, baca artikel-artikel di Mojok Dot Co, ikuti status-status fesbuk beberapa penulisnya seperti Iqbal Aji Daryono, Eddward S Kennedy, dan Rusdi Mathari, Insya Allah anda akan "peka". Tapi hati-hati...

Sabtu, 17 Oktober 2015

Satu Tahun Nawacita

Farid Gaban

Tom Iljas

Alih-alih memulihkan hak-hak asasi Tom Iljas, dia malah ditangkap, dipersekusi, dan diusir keluar Indonesia. Lagi-lagi kasus ini menunjukkan dengan terang pada kita: tak ada niat sedikit pun dari aparat pemerintah untuk menghormati apalagi memulihkan hak-hak korban/penyintas Holocaust 1965-66.

Di Puncak Tiga Gelombang

Bersamaan dengan hari ulang tahun Prabowo Subianto, saya ketemu dengan dua buku ini, yang menulis riwayat dan pemikiran Ketua Umum Gerindra tersebut. Cukup menarik, buku "Di Puncak Tiga Gelombang" (2013), diberi kata pengantar yang manis sekali oleh Buya Syafii Maarif.

Menetes ke Bawah

Tentang ilusi ekonomi "menetes ke bawah". Kisah Kuda dan Burung Gereja. (Farid Gaban)

Integrated Rural Development Indonesia

Saya bahagia sekali ketemu dengan buku ini tadi di TIM. Buku ini, "Integrated Rural Development Indonesia" (New Delhi: Sterling Publishers Private Limited, 1989), ditulis bersama oleh Pak Muby dan Loekman Soetrisno.

Buruh

Pemerintah berencana menetapkan kebijakan pengupahan yang baru agar iklim investasi dalam negeri stabil. Referensinya, angka-angka pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Ekonomi tumbuh, gaji naik. Ekonomi turun, gaji turun. Asumsinya, pertumbuhan ekonomi tidak didongkrak semata-mata oleh keringat buruh tapi oleh wiraswasta (termasuk di dalam definisinya adalah penguasaha). Kelihatannya tampak adil walaupun sama sekali tidak, kalau kita mengkajinya dari kritik ekonomi-politik. Keringat buruh tidak dihitung sebagai sumber mutlak dari pertumbuhan ekonomi, tapi dianggap salah satu faktor; muslihat pertama rezim kapitalis. Padahal sektor wiraswasta juga bergerak dengan keringat buruh, yaitu para pekerja informal yang sama sekali tidak tersentuh kebijakan pengupahan. Buruh yang dihitung adalah buruh industri; muslihat kedua rezim kapitalis.