Pemerintah berencana menetapkan kebijakan pengupahan yang baru agar iklim investasi dalam negeri stabil. Referensinya, angka-angka pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Ekonomi tumbuh, gaji naik. Ekonomi turun, gaji turun. Asumsinya, pertumbuhan ekonomi tidak didongkrak semata-mata oleh keringat buruh tapi oleh wiraswasta (termasuk di dalam definisinya adalah penguasaha). Kelihatannya tampak adil walaupun sama sekali tidak, kalau kita mengkajinya dari kritik ekonomi-politik. Keringat buruh tidak dihitung sebagai sumber mutlak dari pertumbuhan ekonomi, tapi dianggap salah satu faktor; muslihat pertama rezim kapitalis. Padahal sektor wiraswasta juga bergerak dengan keringat buruh, yaitu para pekerja informal yang sama sekali tidak tersentuh kebijakan pengupahan. Buruh yang dihitung adalah buruh industri; muslihat kedua rezim kapitalis.
Apapun alasan yang diajukan pemerintah, kebijakan ini menyenangkan pengusaha dan merugikan buruh. Tuntutan buruh lebih dari sekadar kenaikan upah yang sangat minim itu (tak lebih dari 12%), lebih dari itu adalah memperkuat daya tawar politik dan kapasitas politik mereka terhadap segala kebijakan ekonomi. Padahal kali ini tidak semua elemen buruh dilibatkan. Skema tripartit akan dihapus, dan formula baru ini membuktikan sekali lagi bahwa pemerintah lebih memihak pengusaha daripada sungguh-sungguh memikirkan mengangkat nasib para pekerja di negeri ini.
Pengandaian paling bermasalah dari kebijakan pengupahan ini adalah bahwa antagonisme kapital versus kerja akan sendirinya selesai kalau ada suatu standar pengupahan yang seragam. Nietzsche memperingatkan lebih seabad lalu tentang ilusi “keadilan” oleh pihak yang paling kuat ini.
“Di manapun keadilan diterapkan dan dipertahankan, kita melihat kekuatan yang lebih kuat sedang mencari sarana untuk mengakhiri kemarahan ‘ressentiment’ yang sia-sia yang datang dari kekuatan yang lebih lemah yang berada di bawahnya (entah kelompok atau individu). Ini sebagian ditempuh dengan melepaskan objek ‘ressentiment’ dari balas dendam, sebagian dengan mengganti balas dendam dengan peperangan melawan musuh-musuh perdamaian atau ketertiban, sebagian dengan merancang dan terkadang memaksakan kesepakatan atau pendudukan, sebagian lagi ditempuh dengan mengangkat beberapa standar pelanggaran menjadi norma-norma untuk menjadi sasaran pelampiasan ‘ressentiment’ untuk sekali dan selamanya” (Nietzsche, “On the Genealogy of Morals”, 1989: 75).
(Muhammad Al-Fayyadl)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar