Jumat, 13 November 2015

Kalau Tidak Bersalah, Mengapa Takut?

Kalimat itu kembali tampil dalam ingatan, gara-gara banyak pihak dan jurnalis televisi dan cetak di Indonesia melancarkan kecaman terhadap berlangsungnya sidang International People’s Tribunal 1965 di Den Haag.

Subuh


Subuh jatuh. Lubuk berlabuh. Mengaduh. PadaMu. #poesi
Posted by Tarli Nugroho on 12 November 2015

Diskusi Sarwo Edhie dan Tragedi '65

Alhamdulillah, puji Tuhan. Diskusi Sarwo Edhie dan Tragedi 1965 malam ini berjalan lancar dan damai. Kesimpulannya: kalau sampai rakyat Indonesia membiarkan Soeharto dan Sarwo Edhie sebagai pahlawan nasional, maka sesungguhnya yang tidak waras bukan keduanya. Melainkan kita. Karena membiarkan kebatilan merajalela.

Kamis, 12 November 2015

Nyemplung

Hari ini kali kedua saya nyemplung ke kolam renang setelah tahun 2011 hampir tenggelam di perairan Buton. Saya tidak tahu apa ini namanya trauma, tapi setelah peristiwa itu ada perasaan aneh ketika nyemplung ke air, selintas nggliyeng, dan badan seperti menolak diajak masuk kolam. Apalagi airnya asin kena air mata Eddward. Untung ada kak uyan Wibisono . Paling tidak hari ini saya belajar nyelem. Pelan-pelan, semoga segera bisa renang.

Sarwo Edhie

Nama Sarwo Edhie mencuat dalam perannya sebagai tangan kanan Soeharto dalam mengorganisir kekerasan 1965 di bulan-bulan menyusul Gestok. Mertua mantan presiden SBY ini, dalam pengakuannya menjelang meninggal, kabarnya sangat menyesali telah ikut menciduk ayahnya yang seorang pengikut komunis, dan sempat disumpahi sang ayah sebagai anak durhaka. Kekacauan 1965 telah membuat ayah dan anak menjadi musuh satu sama lain.

Typo

Typo adalah sesuatu yang dihindari sebisa mungkin oleh semua media, atau siapa saja yang memublikasikan tulisan. Apalagi kalau typo itu parah dan fatal, misalnya Detik.com pernah menulis judul begini: "Panitia Diminta Tambah Toket" dan "Pemotor Lepas Kontol di Semanggi." Typo bisa jadi sesuatu yang sangat memalukan. Tapi tidak bagi Ras Arab dari Ngonoo.com. Pria yang akrab disapa Baba ini, justru menjadikan salah ketik sebagai ciri khas atau trademark. Ia punya moto hebat: "Alien itu ada, dan typo adalah kunci." Typo justru menjadi senjata untuk mendekatkan tulisannya dengan pembaca, memancing reaksi. Lihat saja tulisa-tulisannya di Ngonoo atau tempat lain yang digawanginya, misalnya Jagongan.org atau blog pribadinya. Ketika beberapa waktu yang lalu Republika.co.id menulis berita typo yang mencolok, saya langsung teringat Mas Baba. Wah, Republika juga menggunakan typo sebagai senjata. Tentu saja ini kecurigaan, tapi kecurigaan saya sepertinya cukup beralasan karena Republika melakukannya dua kali berturut-turut dengan pola yang sama: sesuatu yang saru. Nuran Wibisono, wartawan Geotimes, juga punya kecurigaan yang sama. Untuk berita Motogp, Repubika menulis "Insiden Rossi-Marquez Di Sepong Diharapkan Tidak Terulang," lalu untuk berita tutupnya Disc Tarra, di bada laporan ditulisnya "Dick Tarra". Itu dua contoh yang saya temukan, yang kebetulan muncul di beranda Facebook saya. Saya tidak tahu apakah ada contoh typo mereka yang lain atau tidak. Republika tentu media yang berbeda dengan Ngonoo, dan penulis-penulis di Republika adalah wartawan-wartawan yang dilatih dengan etika jurnalistik yang ketat, bahkan ada pula redaktur yang tugasnya menyunting tulisan, bukan blogger bebas seperti Mas Baba. ‪#‎RahimSunyi‬

Wawancara

Tahun 2008, untuk keperluan penulisan, saya butuh melakukan wawancara dengan seorang kolektor lukisan di Jakarta. Saya mengirim email dan pesan pendek untuk meminta waktu melakukan wawancara. Tapi tidak ada balasan. Baru tiga hari kemudian dijawab kalau sangat sibuk, dan meminta diwawancara lewat email atau telepon. Saya membalas, kalau bisa tetap diperkenankan wawancara sekalipun hanya 15 menit. Dua hari kemudian dijawab lagi dengan jawaban yang sama. Saya membalas hal yang sama pula. Akhirnya dia memberi kesempatan kepada saya untuk bertemu dengan alokasi waktu 30 menit.

Father and Son

"When a father gives to his son, both laugh; when a son gives to his father, both cry."
—William Shakespeare

Membayangkan Jadi Orang Lain

Setiap bertemu seseorang, saya sering membayangkan menjadi orang tersebut. Dua hari lalu, dalam perjalanan menuju bandara Halim, saya naik angkot 02 menuju halte arion. Supirnya masih muda, dengan rambut belahan pinggir, tangan kanannya memegang setir dan tangan kirinya memegang beberapa lembar uang ribuan. Tiba-tiba terlintas dalam pikiran seandainya saya menjadi supir tersebut, alangkah hebatnya menyetir dengan satu tangan.

Kemanusiaan

Kemanusiaan itu di atas nasionalisme. Nasionalisme bukan kemanusiaan atas dasar kesamaan KTP.