Kedua pria ini bekas eksekutif perusahaan dan lembaga internasional. Yang berbaju biru adalah Mohammad Syah Reza (40) yang 11 tahun lalu memutuskan keluar dari perusahaan alat berat dan meninggalkan gaji 8 juta rupiah per bulan.
Yang berbaju jingga Muhamad Ghufron Suratman (37). Gaji terakhirnya 1.500 dollar di sebuah lembaga asal Timur Tengah.
April 2015 lalu, bersama 17 orang lainnya, mereka membuat apa yang disebut gerakan "Gorontalo Berkebun". Tujuannya menularkan ide pemanfaatan pekarangan rumah tangga untuk tanaman pangan organik seperti tomat, cabai, hingga jagung, agar masyarakat dapat sedikit menekan uang belanja keluarga.
Khusus jagung, mereka tengah berdebar-debar menanti kemunculan buah jagung dari jenis Bonia, varietas lokal Gorontalo yang pernah dinyatakan punah. Menurut catatan, orang Gorontalo terakhir mengonsumsi jagung tiga warna itu di era.1970-an.
Sejak "revolusi hijau", benih jagung hibrida pun mendominasi ladang-ladang petani, hingga kini. Mereka juga mengembangkan jagung jenis lokal lain, "Binthe Pulu" alias jagung pulut yang bulirnya berwarna putih.
"Sekarang sudah bulan ketiga. Kalau jagung Bonia ini berbuah, wah, rasanya kami sudah merdeka," kata Ghufron penuh semangat sembari mengangkat kedua tangan.
Ekspresinya terekam kamera video kami, dan terlihat tidak dibuat-dibuat. Agak sulit mencerna bagaimana para bekas eksekutif ini pulang kampung untuk mengembangkan pangan varietas lokal, di saat pemerintah tengah mendorong utilisasi jagung hibrida guna menggenjot produksi dan target ekspor.
Atau di tengah perusahaan bibit transgenik dunia, mendorong pemerintah agar melegalkan jagung GMO (Genetically Modified Organism) yang mengundang kontroversi.
"Jagung itu untuk pangan (manusia), bukan untuk pakan (ternak) saja. Sekarang kan semua didorong agar jagung jadi pakan. Terus manusianya makan beras semua," tandas Reza.
Provinsi Gorontalo sendiri kerap disebut-sebut sebagai lumbung jagung dengan target produksi 1 juta ton. Sejak Januari hingga Juni tahun ini saja, Gorontalo mengklaim telah mengekspor 91.500 ton jagung ke Malaysia, Filipina, dan Korea Selatan.
Tahun 2009 lalu, jurnalis Farid Gaban dan Ahmad Yunus melakukan Ekspedisi Zamrud Khatulistiwa. Dalam perjalanan laut dari Sulawesi Tengah ke Gorontalo via Teluk Tomini, mereka ternyata tidur di atas tumpukan jagung.
"Tampaknya saya tertipu bahwa Gorontalo adalah penghasil jagung utama di Nusantara," kata Debby Mano, jurnalis Kantor Berita Antara mengutip Farid Gaban.
(Dandhy Dwi Laksono)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar