Hidup punya soto masing-masing, dan di Pasar Kolombo Jogja, hidup bisa dimulai dari soto Pak Syamsul. Warungnya berada di sisi selatan pasar, di sebelah kiri jalan kecil dan mampat yang menghubungkan Jalan Kaliurang dengan Condong Catur. Menempati kios berukuran 2,5x2,5 meter atau mungkin kurang, warung itu akan terlihat lebih mini karena setiap pagi selalu dirubung orang.
Warung soto Pak Syamsul memang dikenal sebagai warung soto pagi. Mulai dibuka pukul setengah tujuh, warung itu akan tutup menjelang waktu shalat duhur. Begitu setiap hari, tujuh hari seminggu tanpa jedah. Pak Syamsul menutup warungnya hanya selama Ramadan, sebulan penuh.Begitulah kata Nody, yang pagi tadi mengajak saya ke warung Pak Syamsul.
Kami adalah pembeli kedua dan ketiga. Seorang bapak yang kepalanya botak di bagian belakang dan berkacamata gelap adalah pembeli sebelum kami. Sesaat kemudian warung Pak Syamsul sudah dipenuhi manusia.
Dua bangku sepanjang 1,5 meter di depan dan di sebelah kanan pikulan sotonya, hanya muat diduduki enam orang. Saya dan Nody duduk berhadapan dengan Pak Syamsul di sisi luar meja berbentuk siku yang jadi pembatas antara pembeli dengan Pak Syamsul. Di trotoar di depan warungnya, tiga bangku untuk dua meja juga sudah penuh orang. Sebagian pembeli antre berdiri. Sebagian dari mereka menunggu giliran duduk. Sebagian lagi menunggu sotonya selesai dibungkus Pak Syamsul.
Nody memesankan kami soto daging jumbo. Disebut jumbo karena ukuran mangkuknya sedikit lebih besar dari mangkuk bakso. Harganya Rp 12 ribu semangkuk atau berselisih Rp 4 ribu dari harga soto dengan mangkuk yang lebih kecil.
Di meja kami tersedia enam nampan. Masing-masing berisi: daging, babat, dan usus goreng; telor dan otak goreng; tempe goreng tanpa tepung; tempe goreng tepung; paru-paru goreng; dan perkedel. Di dua meja yang diletakkan di luar warung, juga disediakan nampan berisi tempe goreng tepung. Blek bercat biru berisi krupuk ada di tiap-tiap meja. “Dibungkus tenan iki [dibungkus benar ini].”
Saya mendengar Pak Syamsul berbicara sendiri, ketika semakin banyak pembeli memesan sotonya untuk dibungkus dan dibawa pulang. Ekpresi wajahnya datar. Mungkin malah tanpa ekpresi. Dia terlihat sangat tenang: menghitung cepat total uang yang harus dibayar oleh pembeli sambil terus menuangkan kuah soto.
“Berapa pak? Soto sekian, paru sekian, tempe sekian...”
“Enam belas ribu, tambah dua puluh empat, tambah delapan, dua ribu, enam ribu, pas lima puluh enam ribu.”
Semacam itulah cara Pak Syamsul menghitung. “Untung aku pernah lulus SD.”
Dia tak mengecek apakah pembelinya jujur atau tidak, saat menyebutkan jumlah gorengan atau krupuk yang dibeli atau dimakan. Sebaliknya, para pembeli bisa mengecek hitungan Pak Syamsul benar atau keliru, karena semua harga soto, gorengan dan minuman di warungnya terpampang dengan huruf dan angka besar-besar di sebuah spanduk yang di paku di bagian atas dinding belakang warungnya yang menghadap ke pembeli.
“Oh... Jadi tanpa garam dan micin. Saya ganti yang baru.”
“Tak usah Pak. Ndak apa-apa.”
“Ndak apa-apa.”
Pak Syamsul langsung mengganti pesanan seorang ibu yang memesan dua bungkus soto tanpa garam dan micin. “Tanpa garam tanpa micin.”
Sekali lagi, saya mendengar Pak Syamsul berbicara sendiri. Saya dan Nody ngekek. Pak Syamsul cengar-cengir. Mungkin karena dia mendengar saya dan Nody tertawa.
Saya menghitung, hanya dalam setengah jam, Pak Syamsul setidaknya sudah menerima enam ratus ribu rupiah. “Saya berjualan sejak 1997 sejak moneter. Begitu Amien Rais bergerak, saya jualan.”
Semula saya menduga dia asli Jogja. Saya baru yakin dia orang Jawa Timur setelah mendengar logat bahasa Jawanya dan membaca tulisan di spanduk yang dikaitkan di bagian atas dinding luar warungnya: “Warung Soto Pak Syamsul. Asli Jawa Timur.”
“Sampean dari Lamongan Pak Syamsul?”
“Saya asli Blitar mas.”
“Sampean saking pundi.”
“Situbondo pak.”
“Oh berarti masih ke timur.”
Pak Syamsul melayani pertanyaan saya sembari terus melayani pembeli: menuangkan soto ke mangkuk, menghitung total pembayaran. Dia menawari Nody untuk mengambil repih-repih gorengan tempe tepung yang menumpuk di satu mangkuk. Nody menggeleng dan saya mengerti, karena kepedihan asmaranya memang akan tidak baik bila dicampur remah tempe goreng tepung.
“Sekarang, enam puluh berapa Pak Syamsul?”
“Saya ini sudah lebih 70 tahun lebih mas.”
“Tujuh puluh berapa?”
“Tujuh puluh delapan.”
“Itu tahun lahirnya?”
“Hahaha. Iya ya, saya mestinya kelahiran tujuh delapan.”
Dia, Nody dan saya tertawa. Pembeli lain hanya memandangi kami termasuk seorang perempuan muda berkacamata bening. Dia dan pasangannya, laki-laki berpenampilan meteroseksual, yang duduk di sebelahnya, memandangi saya. Saya mengerling pada pasangannya, dan laki-laki itu segera menunduk.
Saya bisa salah, tapi tak ada yang istmewa dari rasa soto Pak Syamsul. Biasa menurut saya, belum tentu biasa bagi yang lain, dan mungkin malah bisa jadi luar biasa. Soto Pak Syamsul menjadi istimewa karena itulah salah satu warung soto atau mungkin satu-satunya di Jogja, yang buka sejak pagi. Dan sarapan soto pagi-pagi adalah hal yang luar biasa. “Kasihan orang Madura ya cak. Ada soto enak saja, yang dituduh kok orang Madura.”
Seorang kawan baik mengirimkan SMS pada saya, beberapa saat setelah saya pulang dari rumahnya membawakan soto Pak Syamsul. Dia yang menyarankan saya untuk mencoba soto Pak Syamsul di Pasar kolombo. Saya yang memberitahunya bahwa Pak Syamsul adalah orang Blitar, bukan orang Madura seperti dugaannya dan dugaan kawan-kawan lainnya yang berkantor di salah satu rumah di Jalan Kaliurang. Dugaan memang punya soto masing-masing.
(Rusdi Mathari)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar