Di panggung pertunjukan, jika ada sebuah pistol sudah terletak di atas meja lalu pistol itu tidak meledak, maka ganti saja pistol itu dengan rempeyek. Setidaknya aktor-aktor di atas panggung bisa memakannya.
Tidak begitu di kehidupan nyata. Ketika ketegangan merambat cepat, kedua kelompok orang di samping kanan dan kiriku segera seperti dalam formulasi menyerang. Dan kami berdua, aku dan Om Tan, berada di tengah-tengah. Jika pistol di atas meja masing-masing meledak, aku yakin pistol-pistol lain di pinggang atau tas masing-masing orang akan dicabut, lalu peluru berhamburan.
Bagaimana rasanya berada tepat di tengah-tengah orang-orang yang sedang baku tembak?
Sialnya, Rus yang berada di meja lain, malah sedang menahan rasa kantuk. Kepalanya berkali-kali kena meja di depannya. Hingga akhirnya dia benar-benar meletakkan kepalanya di atas meja, di samping piring makan dan gelas minumnya yang sudah kosong. Tertidur. Ngorok keras lagi...
Aku membalikkan kepalaku, melihat ke arah para pelayan di rumah makan ini, ada 5 pelayan yang sedang bertugas di depan, 3 orang sedang asyik menonton televisi, dan dua lagi asyik menekuri gawai mereka.
Aku ingin merasa waswas. Tapi nyatanya tidak. Banyak orang terganggu drngan rasa waswas dan takut. Tapi bagiku, kedua hal itu harus ada di diri seorang manusia. Sebab kedua hal itu adalah alarm sejati kita untuk mengenali marabahaya. Begitu keduanya lenyap, maka sebagian persenjataan kita untuk bertahan hidup, telah lenyap juga. Dan hal itu tidak baik.
Om Tan juga tenang. Tapi ketenangannya berbeda. Lebih kepada semacam rasa percaya diri bahwa dia bisa mengatasi semua persoalan ini. Dia malah dengan pelan mengeluarkan bungkus kreteknya, mengambil sebatang, memijat batang kretek itu pelan. Lalu menyalakan. Mengisap dengan tenang.
Hening. Hanya ada suara lamat televisi, dan dengkur Rus. Sementara yang ada di kepalaku cuma satu, begitu salah satu orang entah di samping kanan atau kiriku menyahut pistol di atas meja mereka masing-masing, hal pertama yang akan cepat kulakukan adalah segera masuk ke kolong meja secepat mungkin.
Sebuah mobil masuk di parkiran. Dua laki-laki berjaket kulit masuk. Keduanya tinggi dan gagah. Perlente. Masuk ke dalam rumah makan dengan rasa percaya diri yang tinggi. Aku sempat berpikir pistol-pistol yang di atas meja akan dimasukkan karena ada dua laki-laki yang baru datang. Tapi ternyata tidak. Dan ketika kedua laki-laki itu melewati lorong antara mejaku dengan meja sebelah kananku, muka mereka langsung pucat. Rasa percaya diri mereka langsung rontok. Dengkul mereka kulihat mendadak gemetar. Akhirnya mereka berdua duduk di meja belakangku.
Tepat di saat kedua laki-laki berjaket kulit itu meletakkan pantat mereka, Om Tan bangkit. Dia mengangkat bahunya, seakan bilang: "Ini bakal menjadi pertunjukan yang menyedihkan. Tidak ada adu tembak. Hanya orang main gertak."
Tapi tepat di saat itu, azan Subuh bergema, lalu seperti pemberi tanda dan aba-aba, di saat yang bersamaan kedua kelompok orang di samping kanan dan kiriku, mencabut senjata masing-masing, saling menengok, saling todong dan siap untuk saling tembak. Semua skenario di kepalaku berantakan. Alih-alih aku masuk ke kolong meja, menggerakkan kaki dan tanganku saja rasanya susah sekali. Sementara Om Tan yang sudah telanjur berdiri, kembali duduk.
Adegan saling acung pistol itu berlangsung sekian detik, dan benar, kalau seandainya di dalam ruang pertunjukan tak perlu muncul. Tak ada tembakan. Lalu seperti ada yang memerintah, seperti ada kesepakatan baru, kedua kelompok itu kemudian memasukkan pistol masing-masing.
Tak ada baku tembak. Tak ada suara apapun. Hanya lamat ada suara televisi, dan dengkur Rus yang keras sekali.
Kelompok sebelah kiri bangkit. Lalu pergi. Meninggalkan gaung deru mobil di parkiran. Tak lama kemudian, kelompok sebelah kanan pergi.
Aku bangkit. Berjalan ke kasir. Sempat kulirik dua laki-laki berjaket kulit. Muka mereka masih pucat.
Di beranda rumah makan itu, Om Tan masih berdiri. Seperti menungguku. Aku menghampirinya. Sepasang matanya melihat ke arah langit, melihat ke arah bulan tiga perempat.
"Kamu bisa mencium bau hutan?" Ia menarik nafasnya, lalu mengembuskan pelan. Aku diam.
Kedua rombongan yang hampir saling tembak itu siapa? Tanyaku, sungguh penasaran.
"Beberapa kelompok politik di Jakarta sedang bertikai. Pertikaiannya merembet ke mana-mana. Tapi seperti yang kamu lihat, cuma sebatas itu. Main gertak. Saling kunci. Nanti kamu akan tahu sendiri."
Aku diam. Unjal nafas...
"Ayo kita pergi. Ikuti aku..." Om Tan berjalan ke arah mobilnya.
Aku mengikutinya. Berjalan ke arah mobilku.
Om Tan masuk ke mobilnya. Aku segera membuka pintu mobilku. Terkunci. Aku teringat Rus, segera pandanganku tertuju ke dalam rumah makan.
Rus masih menelangkupkan wajahnya di atas meja. Suara dengkurnya terdengar lamat dari parkiran.
(Puthut E.A.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar