Menurut Bareskrim Polri, hingga 22 Oktober 2015, ada 247 tersangka pembakar hutan. Dari jumlah itu, 230 di antaranya tersangka perorangan, dan 17 sisanya tersangka korporasi (perusahaan). Tujuh di antaranya berstatus penyertaan modal asing.
Tapi ihwal siapa mereka, sengaja ditutupi pemerintah dengan dalih dapat mengancam stabilitas ekonomi. “Kalau kita buka, berapa ratus ribu orang yang akan lay off (PHK)?” (Menkopolhukam Luhut Pandjaitan, 27 Oktober 2015).
Menurutnya, pemerintah tak ingin mengganggu keadaan ekonomi karena pengumuman itu, dan berjanji akan mencari waktu dan cara yang tepat.
“Bisa saja kami ungkap, produk perusahaannya lalu diboikot (oleh masyarakat) dan perusahaannya bangkrut, ekonomi nasional jadi terganggu, Harus dihitung dampak positif dan negatifnya” (Kadiv Humas Polri, Anton Charliyan, 3 November 2015).
Kali ini polisi tampil dengan analisa sosial-ekonomi. Argumen ini tak pernah kita temukan dalam, misalnya, penggerebekan usaha kecil pembuat tahu atau bakso yang menggunakan bahan-bahan yang membahayakan kesehatan masyarakat. Dalam kasus seperti ini, kalau perlu tersangkanya dipajang di depan kamera TV, tanpa pertimbangan efek bola salju pada ekonomi keluarga, tetangga, handai taulan dan lain-lain.
Inilah nalar “too big to fail” atau “terlalu besar untuk dibiarkan jatuh”. Padahal kasus pembakaran hutan dan kasus tahu atau bakso, sama-sama membahayakan kesehatan masyarakat. Bahkan pada skala yang tak sebanding.
Jargon "too big to fail" ini yang digunakan pemerintah Amerika ketika pada 2008 menalangi atau membail-out beban keuangan General Motors. Atau ketika pemerintah Indonesia memberi dana talangan kepada para bankir lewat Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Atau ketika pemerintah menganggap penutupan Bank Century akan berdampak sistemik dan membail-outnya 6,7 triliun rupiah.
Kita sama-sama tahu, kedua contoh terakhir skenario “too big to fail” ini berujung pada skandal perbankan yang tak pernah menyentuh para aktor utamanya, hingga hari ini. Perlakuan “too big to fail” ini tak akan dirasakan, misalnya, lembaga keuangan gurem seperti Credit Union di pedalaman Kalimantan yang melayani para petani karet atau buruh perkebunan kelapa sawit, karena efek dominonya dianggap tak besar.
Struktur ekonomi seperti ini adalah buah dari pilihan konsep pembangunan yang kapitalistik, di mana desain produksi dilakukan secara massal (mass production), bukan production by mass (produksi oleh masyarakat). Ekonomi “mass production” ini mensyarakatkan penguasaan modal yang besar, lahan yang luas, dan ketersediaan buruh yang cukup. Di titik inilah, perusahaan perkebunan seperti kelapa sawit, industri pengolahan minyak sawit (CPO), atau sektor hilirnya seperti pengolahan biodesel, perusahaan setrum, pabrik sampo, sabun, hingga minyak goreng, seolah ikut dipertaruhkan. Padahal faktanya tak sedramatis itu.
Justru karena “too big to fail” produk-produk itu telah berurat dan berakar di masyarakat, hingga tak mudah mendapati pengganti atau barang substitusinya.
Seidealis-idealisnya orang Indonesia, tak akan terjadi eksodus dari sampo atau minyak goreng yang beredar di toko kelontong, ke penggunaan daun cicaang ala orang Baduy untuk keramas atau membuat minyak kelapa sendiri seperti orang-orang Boti di pulau Timor. Bila pun ada eksodus dari minyak goreng sawit ke produk minyak goreng kelapa, jangan khawatir ada PHK. Sebab minyak kelapanya barangkali masih diproduksi oleh grup perusahaan yang sama.
Contohnya, di Sulawesi Utara, saya lewat depan pabrik Bimoli (Indofood) di Bitung yang memproduksi minyak kelapa atau pabrik Cargill di Amurang yang juga menerima kopra (kelapa kering). Jadi hampir tak ada sumber daya alam yang tak disentuh konglomerasi. Justru dengan alasan “too big to fail”, apa yang didalihkan oleh pemerintah dan polisi batal demi nalar.
Lagipula, gerakan konsumen kritis yang menolak produk-produk tak ramah lingkungan atau perusahaan yang tak menghormati Hak Asasi Manusia (misalnya perusahaan sepatu olah raga yang membayar murah upah buruhnya) justru buah dari gagalnya lembaga Negara melindungi warganya. Kegagalan menerapkan aturan standar lingkungan dan standar upah.
Karena industri telah mengangkangi kewibawaan Negara --dan Negara gagal melindungi warganya-- maka warga (citizen) menggunakan statusnya sebagai konsumen dan memilih metode sanksi sosialnya sendiri, dengan tidak membeli produk-produk itu.
Contoh terdekat ketika supermarket-supermarket Singapura seperti FairPrice, Sheng Siong dan Prime, pertengahan Oktober lalu diberitakan menurunkan semua produk Asia Pulp & Paper milik Sinar Mas Group dari rak-rak mereka sebagai respon terhadap tragedi kabut asap di Sumatra dan Kalimantan yang diduga melibatkan perusahaan tersebut.
Lucunya, gerakan konsumen kritis atau konsumerisme (bukan konsumtivisme) akibat absennya Negara inilah, yang kini dipakai sebagai dalil oleh pemerintah dan polisi untuk tidak mengumumkan nama perusahaan pembakar hutan/lahan dengan argumen “berapa buruh yang akan di-PHK dan dampaknya pada ekonomi”.
Hanya para pahlawan kesiangan yang baru bicara dampak ekonomi hari-hari ini. Selama empat bulan tragedi kabut asap kemarin, sudah berapa kerugian ekonomi dan dampak kesehatan yang tak dapat dirupiahkan? Bila pemerintah dan polisi bicara ratusan ribu buruh (bila benar akan ada boikot massal dan PHK sebanyak itu), bagaimana dengan jutaan orang yang terdampak kabut asap di Sumatra dan Kalimantan? Dan mereka tak ada kaitannya dengan industri sawit atau kertas.
Di akun Ekspedisi Indonesia Biru, kami sudah memublikasikan nukilan laporan Bank Indonesia cabang Palangkaraya tentang dampak kabut asap pada ekonomi di Kalimantan Tengah, di mana industri sawit dan pengolahannya justru tidak terlalu terdampak dibanding sektor ekonomi lain.
Yang terpukul adalah para petani karet dan hortikultura seperti cabai atau tomat, yang dalam empat bulan rata-rata mengalami kerugian antara 30-40 juta rupiah per petani. Atau sektor informal penjual makanan dan warung kelontong akibat masyarakat mengurangi total aktivitasnya di luar rumah.
Bagi sesama pemodal, tragedi kabut asap merugikan sektor perhotelan dan penerbangan. Itu belum termasuk dampak inflasi dalam belanja sektor kesehatan.
Bila benar “pemerintah tidak ingin mengganggu keadaan ekonomi” seperti kata Menkopolhukam atau Jurubicara Polri, maka dalih ini mestinya digunakan ketika memberi izin konsesi atau hak guna saat kali pertama hutan di Sumatra dan Kalimantan dibuldozer dalam skala yang “too big to fail”.
Atau saat gambut yang basah dikeringkan untuk mencetak sawah atau ditanami sawit.
Itulah saat yang tepat bicara “dampak ekonomi”.
Sesungguhnya, terhadap alasan-alasan ini, saya merasa deja vu, karena dalih inilah yang persis digunakan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono untuk membail-out Bank Century dengan alasan bila ditutup akan menimbulkan kepanikan, bank rush, kiamat perbankan, ekonomi kolaps, dan hantu-hantu teror lainnya.
Padahal sejatinya tak lebih dari moral hazard untuk melindungi para deposan besar dan kegagalan Bank Indonesia menegakkan aturan dan pengawasan.
Dan dramatisasi ini, diulangi oleh pemerintahan baru. Bedanya, kali ini untuk melindungi investor perkebunan monokultur dengan mengatasnamakan nasib buruh kelapa sawit yang dibayar 79.000 rupiah per hari, padahal mereka adalah bekas pemilik tanah yang sama.
Itu juga bila kita percaya bahwa tindakan ini bukan untuk melindungi jajaran komisaris perkebunan kelapa sawit yang pensiunan jenderal tentara dan polisi.
(Dandhy Dwi Laksono)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar