Jumat, 30 Oktober 2015

Perkebunan Sawit Tak Terlalu Terdampak Kabut Asap

Kawan-kawan Bank Indonesia memakai foto-foto Ekspedisi Indonesia Biru, dan kami diberi salinan hasil kajian "Dampak Kabut Asap Terhadap Perekonomian Provinsi Kalimantan Tengah".


Hasilnya, kurang lebih seperti ini:

Pembukaan lahan (termasuk untuk perkebunan kelapa sawit) menyumbang 55 persen dari penyebab kebakaran hutan dan lahan, tapi sektor ini justru yang tidak terlalu terdampak dibanding sektor lain seperti pertanian hortikultura yang rata-rata kerugiannya dilaporkan 30-40 juta per pertani atau sektor transportasi (penerbangan) yang mencapai 24 miliar rupiah hanya periode Agustus-September 2015.


Sektor pengolahan tandan buah segar (TBS) untuk minyak sawit (crude palm oil/CPO) juga dilaporkan tidak terdampak selain "berdampak pada kondisi kesehatan para karyawan". Hal yang juga dialami jutaan penduduk Kalteng lainnya.


Laporan ini mengidentifikasi pembersihan lahan (land clearing) terkait tiga alasan: pembukaan lahan sawit, pertanian masyarakat, dan pembalakan hutan.


Luas lahan terbakar hingga Oktober 2015 mencapai 10.015 hektare yang meliputi 5.176 titik api. Meningkat 61,15 persen dibanding 2014. Namun yang berhasil dipadamkan hanya 40 persen.

Dari luas lahan yang terbakar, 3,2 persen di antaranya adalah lahan sawit dan 2,2 persennya karet. Kerugiannya dilaporkan sekitar 9,3 miliar rupiah.

Bila dibedah lagi, sawit dan karet memiliki karakter ekonomi yang berbeda. Rata-rata sawit dimiliki perusahaan, sementara karet milik masyarakat. Menurut laporan BI, sawit yang terbakar rata-rata baru ditanam, sedangkan karet yang terbakar sudah berusia produktif (usia pohon antara 5-8 tahun).

Pukulan lain dialami petani hortikultura seperti cabai atau tomat akibat fotosintesis tanaman yang tak sempurna karena cahaya matahari dihalangi kabut asap selama 3-4 bulan. Sepanjang periode itu, kerugian ditaksir mencapai 30-40 juta rupiah per petani.

Di sisi lain, sektor tambang yang menyumbang deforestasi juga tak terpengaruh kabut asap, dibanding misalnya, sektor perhotelan yang tingkat huniannya turun antara 10-15 persen dengan kerugian 2,07 miliar rupiah.

Laporan ini juga menghitung dampak inflasi akibat kabut asap terutama belanja masyarakat untuk sektor kesehatan dan turunnya belanja makanan yang memukul sektor-sektor informal karena masyarakat mengurangi aktivitas di luar rumah.

Inilah yang kami sebut subsidi publik pada sektor perkebunan monokultur. Jenis subsidi yang tak pernah dihitung dalam kajian saat pemerintah memberikan izin atau saat proposal bisnis dipresentasikan kepada para pemegang saham.

Setiap kenaikan harga saham perkebunan, ada rupiah milik masyarakat atau pelaku bisnis lain yang tak pernah diperhitungkan.

Ekspedisi Indonesia Biru

Tidak ada komentar:

Posting Komentar