Senin, 12 Oktober 2015

Keracunan

Beberapa dari kami memanggilnya Nil-12. Julukan yang merujuk kepada kuda nil hewan favoritnya dan ukuran pelirnya yang [menurut pengakuannya] panjangnya 12 senti. Perawakannya pendek, cokelat tua kulitnya, dengan tangan, kaki dan pantat penuh otot. Rambutnya lurus tapi agak tipis dan nyaris botak di bagian depan. Usianya baru 30 tahun, dan baru beberapa bulan yang lewat, Nil-12 bercerai dengan istrinya.

Sejak hakim di KUA mensahkan peceraiannya, dia bercerita, lalu melibatkan diri sebagai pemuas seks ibu-ibu yang kesepain. Untuk having fun katanya, bersenang-senang, dan memang, berbeda dengan para gigolo yang meminta atau menerima bayaran, Nil-12 kawan kami itu, mengaku tak pernah menerima bayaran apalagi memasang tarif. Dia menyatakan dirinya bukan laki-laki komersial yang menukar hubungan seks dengan materi. Hubungan seksnya dengan nyonya-nyonya, katanya, dilakukan atas dasar suka sama suka, dan Nil-12 memang maniak seks meskipun dia mengaku tak pernah melacur.

“Aku takut Cak.”
“Takut kenapa?”
“Takut kena penyakit.”
“Kan bisa pakai kondom.”
“Ya bisa, tapi aku tak mau hubungan seks seperti jual-beli.”

Pengalaman seks pertama Nil-12 dimulai sewaktu dia masih duduk di bangku kelas 2 SMP: bersanggama dengan perempuan kelas 2 SMA.

“Mbak itu yang mengajakku.”
“Kok bisa?”
“Waktu itu kami teler pil koplo Cak.”
“Terus?”
“Dia mengajakku ke sebuah losmen.”
“Siapa yang bayar?”
“Dia yang bayar.”
”Terus?”
“Ya mbak itu yang ngajarin semuanya.”

Pengalaman seks pertamanya itu, tampaknya menjadi bekal dasarnya sebagai petualang seks. Dua atau tiga pacarnya pernah dia sanggamai termasuk perempuan yang pernah menjadi istrinya, meski pengalaman seks pertamanya adalah sesuatu yang menurutnya tak pernah terlupakan. Membekas di pikiran dan jiwanya dan mengendap di bawah sadarnya: dia selalu menyukai berhubungan seks dengan perempuan yang berusia lebih tua. Oedipus Complex kata para psikolog, atau di sini, orang-orang mengenalnya sebagai Sindrom Sangkuriang.

Nil-12 memang punya masa lalu yang tak semua orang mengalaminya. Kedua orang tuanya bercerai saat dia masih anak-anak, dan sejak ibu-bapaknya memilih hidup sendiri-sendiri, Nil-12 yang malang dititipkan pada seorang tetangganya. Dia sejak itu nyaris tak punya sosok bapak dan terutama sosok ibu, hingga saat masih bersekolah di SMP itu, untuk kali pertama dia melakukan sanggama dengan pelajar SMA. Bukan hubungan seks itu benar yang mengesankannya, melainkan karena dia merasa mendapat kasih-sayang dari sosok ibu.

“Aku tak pernah merasakan belaian ibu Cak.”
“Karena itu kamu mengincar ibu-ibu?”
“Aku tak mengincar Cak. Kami saling kenalan, saling butuh.”
“Ya sama saja.”
“Beda toh Cak. Lah wong mereka kok yang kadang menghubungiku.”
“Mereka kok bisa tahu kamu?”
“Jaringan Cak, jaringan...”
“Jaringan apa? Jaringan kabel?”
“Jaringan pertemanan Cak...”

Kenalannya, ibu-ibu yang kesepian itu, tak terbatas hanya di kota tempatnya tinggal, tapi juga di luar kota, seperti yang terjadi beberapa hari yang lewat di sebuah kota kecil ketika Nil-12 pergi bersamaku dan beberapa kawan. Suatu malam, Nil-12 yang menginap di sebuah hotel kelas melati telah didatangi seorang ibu paruh bayah yang menunggu di pinggir jalan. Seorang ibu yang menyisakan kecantikan masa muda. Badannya juga lumayan sintal. Hidungnya bangir dengan tatapan mata yang niscaya bisa menjatuhkan cicak yang menempel di dinding. Kepada kawan sekamarnya, Nil-12 berpamitan keluar hotel untuk minum kopi, tapi bersama ibu itu, dia sebetulnya pergi ke sebuah hotel lain, bercinta hingga subuh dan kembali ke tempatnya menginap menjelang pagi. Kami tahu kejadian itu karena Nil-12 menceritakannya saat kami sarapan pagi.

Tiga hari setelah kejadian itu, kami meninggalkan kota kecil itu, dan pergi ke kota kecil lainnya. Sebuah kota keci di punggung satu pegungunan, tapi di kota kecil yang berudara sejuk itu, Nil-12 hanya meringkuk di kamar hotel. Dia terlihat sibuk dengan gawainya, menghubungi beberapa ibu yang menghubunginya dan meminta maaf karena tak bisa bertemu atau memenuhi hasrat mereka. Kadang-kadang dia mengambil foto dirinya yang bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana dalam boxer sembari telentang di tempat tidur.

Dia seperti bukan Nil-12 yang kami kenal yang selalu ceria, dan dugaan kami agak benar: dia terserang demam. Di malam hari suhu tubuhnya meninggi, dan menggigil di pagi hari.

Semula, kami menduga Nil-12 kecapekan, dan karena itu seorang kawan kemudian memanggil tukang urut untuk memijatnya, tapi demam Nil-12 semakin parah. Soto ayam, sop buntut, gule kambing, beberapa obat penurun panas dan jamu tolak capek yang dibelikan kami juga tak mempan meredakan panas-dingin Ni-l12. Beberapa dari kami mulai kuatir Nil12 terserang penyakit kelamin atau penyakit lain yang mematikan, apalagi Nil-12 mulai sering menggigau sembari tertawa memanggil nama-nama perempuan yang tidak kami kenal.

“Mbak Sri aku padamu...”
“Bu Tari aku mau mimik...”
“Yuk Katemi peluk aku dong...”
"Tante Marni mau aku cium lagi?"

Kami berpikir keadaannya agak gawat, dan kami jelas tak mau ambil risiko. Kesepakatan kami adalah membawa Nil-12 ke dokter. Meskipun dia bersikeras tak mau, pada suatu malam kami menggotongnya ke mobil: dua kawan menyanggah dua kakinya, dua kawan lain menyanggah punggung, dan seorang kawan menyanggah kepalanya. Nil-12 tertawa-tawa seperti kegelian, membuat beberapa orang yang menginap di hotel yang sama dengan kami menyaksikan adegan itu dengan wajah penuh keheranan.

Selama Nil-12 diperiksa dokter, kami semua menunggu di teras paviliun sebuah rumah yang dijadikan praktik si dokter. Kecuali Nil-12, tak ada pasien lain malam itu, dan setelah sekitar 15 menit menunggu, Nil-12 keluar dari kamar periksa diikuti si dokter. Seseorang dari kami lalu bertanya pada dokter.

“Terima kasih Dok. Sakit apa kawan kami?”
“Demam biasa.”
“Demam karena perubahan cuaca atau sebab lain Dok?”
“Teman Anda keracunan makanan, tapi tidak parah.”
“Keracunan? Lah dia selalu makan bersama kami dan kami sehat-sehat saja Dok.”
“Iya keracunan. Untung fisiknya kuat. Dia hanya butuh istirahat.”
“Waduh... Kalau boleh tahu keracunan makanan apa ya Dok?”
“Dia mengaku salah minum susu.”
“Hah? Susu?”
“Iya. Dia mengaku suka mimum susu basi.”

(Rusdi Mathari)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar