Anomali itu terjadi di lantai bursa New York, Kamis lalu. Beberapa saat setelah Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc. mengumumkan telah mendapat kepastian jaminan dari pemerintah Indonesia yang akan memperpanjang kontrak pertambangan Grasberg setelah berakhir pada 2021; saham perusahaan itu justru turun setengah persen menjadi US$ 12,94. “The Street” salah satu media keuangan terkemuka di New York, pada hari itu bahkan merekomendasikan kepada para investor untuk melepas saham Freeport karena beberapa alasan. Antara lain karena laba bersih perusahaan yang dinilai memburuk, risiko utang, rasio laba bersih dan aset [ROE] yang mengecewakan, dan arus kas perusahaan yang lemah. Pada hari yang sama muncul keadaan yang lebih menggembirakan di pasar keuangan Jakarta: rupiah mulai menguat terhadap dolar, yang menyebabkan kelas menengah pendukung Presiden Jokowi bersorak ditambah bumbu-bumbu omong kosong.
Seperti halnya simptom sebuah penyakit, anomali semacam itu harus dibaca sebagai sebuah gejala atau kode, dan karena baru gejala maka tidak keliru bila menimbulkan berbagai spekulasi. Misalnya kemudian ada yang bertanya: mengapa pada saat Freeport mendapat kepastian memperpanjang kontrak puluhan tahun ke depan, harga sahamnya justru turun? Lalu adakah hubungannya, restu perpanjangan kontrak untuk Freeport setelah tahun 2021 [yang tampaknya dilakukan dengan berat hati] oleh Jakarta, dengan menguatnya harga rupiah; misalnya karena Freeport mengguyur pasar dengan dolar?
Dan semua spekulasi semacam itu harus dibaca pula sebagai sesuatu yang lumrah-murah saja. Freeport bagaimanapun adalah salah satu raksasa tambang dunia dan menjadi salah satu isu besar di Tanah Air sejak kurang-lebih setengah abad yang lalu. Perusahaan itu menambang tembaga dan belakangan emas di tambang Ertsberg dan tambang Grasberg yang terletak di kawasan Tembaga Pura, Kabupaten Mimika, Papua [Grasberg adalah tambang yang memiliki cadangan endapan emas terbesar di jagat bumi dan cadangan endapan tembaga terbesar ketiga di dunia]. Dan seperti diumumkan Kamis lalu, produksi tembaga Freeport saat ini mencapai 220 ribu bijih tembaga per hari atau yang terbesar di dunia, dan selama beberapa tahun ke depan, Freeport mengharapkan bisa menambang dan menghasilkan sekitar 240 tibu ton bijih tembaga setiap hari.
Keberadaan dan keperkasaan Freeport itulah yang banyak dipersoalkan terutama karena kontrak karya dan pembagian royalti kepada pemerintah yang dinilai tidak adil. Untuk Kontrak Karya I yang diteken 7 April 1967 dan berlaku hingga 24 tahun kemudian, Freeport bahkan dibebaskan sama sekali untuk membayar rolyati emas kepada pemerintah. Salah satu alasannya: Freeport mengeluarkan dana besar untuk investasi, selain tentu karena tekanan politik menyusul runtuhnya kekuasaan Sukarno.
Baru pada 1991, ketika meneken Kontrak Karya II, Freeport diwajibkan membayar rolayti tembaga dan emas. Besarnya 1% dari harga jual dikalikan tonase, atau lebih kecil dibandingkan ketentuan yang sama yang diberlakukan untuk perusahaan tambang lain yang beroperasi di Indonesia. Royalti Freeport yang 1% adalah juga yang paling rendah bila dibandingkan royalti yang sama yang diberlakukan banyak negara, yang paling sedikit mencapai 5-6%. Rolyati itu juga lebih rendah dari Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2003 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian ESDM terhadap setiap badan usaha.
Pemerintah karena itu kemudian berinisiatif membuat Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara. Salah satu amanat undang-undang itu adalah: ketentuan kontrak karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara harus disesuaikan dengan undang-undang itu paling lambat setahun setelah diundangkan, Januari 2010. Artinya, ada 76 kontrak karya dan 42 Perjanjian Karya yang harus dinegosiasi-ulang oleh pemerintah untuk meningkatkan pendapatan negara.
Hasilnya: hingga Juli 2012, hanya ada 9 perusahaan pemilik kontrak karya dan 60 Perjanjian Karya yang setuju dengan kesepakatan negosiasi ulang. Setidaknya begitulah data dari Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM saat itu. Bagaimana dengan Freeport?
Bersama dengan PT International Nickel Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara, Freeport termasuk perusahaan yang tidak menyetujui ketentuan negoisasi ulang kontrak karya. Manajemen Freeport bahkan menyerukan agar pemerintah menghargai klausul-klausul dalam kontrak karya pertambangan dan memberikan kepastian hukum perihal kontrak karya. Lalu lewat Richard Adkerson [CEO Freeport-McMoRan saat itu], Freeport menyatakan hanya akan tunduk pada Kontrak Karya 1991, dan bukan kepada Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 yang disebutnya sebagai undang-undang baru. Adkerson bahkan sesumbar akan mengabaikan ketentuan untuk melakukan divestasi saham sesuai Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2012 karena tidak ada persyaratan bagi Freeport menjual saham kepemilikan kepada nasional Indonesia.
Beleid No. 24 Tahun 2012 adalah revisi atas PP No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara yang hanya mewajibkan divestasi saham 20%. Ketentuan baru ini mewajibkan perusahaan asing pemegang izin pertambangan untuk melakukan divestasi [atau mengurangi] saham mereka secara bertahap setelah lima tahun produksi wajib. Dengan demikian pada tahun ke-10, kepemilikan saham mereka akan dimiliki nasional Indonesia hingga paling sedikit 51%.
Untuk Freeport, ketentuan divestasi itu sebetulnya sudah tercantum dalam klausul Kontrak Karya 1991. Pasal 24 menyebutkan, kewajiban divestasi Freeport terdiri dari dua tahap. Pertama, melepas saham ke pihak nasional sebesar 9,36% dalam kurun waktu 10 tahun pertama sejak kontrak karya 1991. Kedua, mulai 2001, Freeport harus melepas saham masing-masing 2% per tahun hingga kepemilikan nasional menjadi 51 %, tapi Freeport kemudian menolak. Diberitakan oleh kantor berita Reuters, Freeport bahkan telah mengajukan untuk meningkatkan jumlah kepemilikan saham mereka yang sudah di atas 90%.
Barangkali itu sebabnya, tidak salah bila beberapa ekonom beranggapan, Freeport ikut menentukan merah-biru perekonomian Indonesia, termasuk antara lain kemungkinan untuk menekan harga rupiah. Anomali yang terjadi beberapa saat setelah harga saham Freeport turun justru pada saat mereka memastikan telah mengantongi izin kontrak baru, dan di sini disusul dengan menguatnya rupiah terhadap dolar, akan menguatkan anggapan seperti itu. Dan anggapan semacam itu tidaklah mengejutkan, karena seperti kata Helen Thomas, wartawan senior di Gedung Putih, bahkan Washington dan presiden Amerika Serikat pun selalu berada di ketiak pemburu rente, pemilik modal seperti Freeport, dan tak berdaya. Maka apatah pula Jakarta dan Jokowi yang semakin hari terlihat tak mendapat dukungan politik dari partai politik utamanya, atau malah ditinggakan.
(Rusdi Mathari)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar