Ini bukan Danau Kelimutu di Flores (NTT). Ini lubang bekas tambang batu bara di Samarinda, Kalimantan Timur. Pemerintah setempat mengklaim saat ini hanya tinggal 79 dari 150 lubang pada 2011.
Antara 2011-2015, tercatat ada 14 anak tewas tenggelam di Samarinda dan Kutai Kartanegara. Lembaga yang rajin mencatat adalah Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim. Sejauh ini, Dinas Pertambangan, Kementerian ESDM atau Badan/Kementerian Lingkungan Hidup tidak memiliki catatan tandingan.
Yang dicatat oleh Jatam pun hanya di Samarinda dan Kutai Kartanegara mulai 2011. Bukan sebelumnya. Meski penambangan batu bara mulai marak di era 1990-an, dan izin menambang bawah tanah masuk bersamaan dengan program transmigrasi awal 1980-an seperti di Kerta Buana (Kukar).
Kasus terakhir terjadi Mei 2015 lalu di Tenggarong yang menewaskan seorang pelajar SMP.
Di masa Hindia Belanda, penambangan batu bara dilakukan di bawah tanah seperti di Sawahlunto (Sumatra Barat). Kini, penambangan dilakukan terbuka dengan membongkar lapisan tanah produktif (top soil).
Metode menambang seperti ini memang murah secara investasi. Tapi ongkos sosial dan lingkungannya lebih mahal. Jenis ongkos yang dibayar masyarat. Mulai konflik ruang, merusak pertanian, polusi, tanah longsor dan air jebol, hingga kasus-kasus kematian anak seperti ini.
Dari 14 kasus kematian dalam empat tahun, hanya satu kasus (Desember 2011) yang berujung di pengadilan, dengan terhukum seorang kontraktor yang divonis dua bulan penjara.
Salah satu penyebab jatuhnya korban karena lubang-lubang ini tidak direklamasi atau tidak dipasang fasilitas pengaman. Di beberapa lokasi bahkan berdekatan dengan permukiman warga.
*simak film dokumenter "Linimassa3" https://youtu.be/ZEd8qaDo1hA
Ekspedisi Indonesia Biru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar