Senin, 12 Oktober 2015

Mati

Setidaknya aku harus menunggu sore hari untuk melakukan sesuatu yang terkait dengan telepon itu. Selain badan terasa lungkrah, aku ingin mengistirahatkan penatnya pikiran.

Pukul 3 sore masih cukup terik. Tapi badan sudah lumayan bugar. Rasa kapang terhadap anak dan istri sudah cukup terobati. Aku memilih salah satu kopi terbaik yang kumiliki, dan di jalan, aku berhenti sebentar ke kios ikan segar langgananku, membeli seekor ikan tuna dan seekor kakap merah.

Dia mengaku sakit. Setidaknya begitulah di telepon dia bicara pagi tadi. Bolehlah dia disebut sahabatku, sekalipun umur kami berdua terpaut jauh, dia hampir enam puluh tahun. Kedua anak perempuannya sudah menikah, masijg-masing dikaruniai seorang putera.

Sepintas, tak ada yang kurang dari sahabatku itu. Tak kaya benar dia, tapi tidak mungkin dibilang miskin. Mungkin bahasa yang tepat adalah sejahtera. Dia hidup bersama istrinya di sebuah rumah sederhana tapi bersih dan rapi, berjarak sekira 7 kilometer dari rumahku, menuju lereng Merapi. Dulu dia seorang kontraktor. Setelah kedua anaknya telah mapan, dia menghentikan bisnisnya, pindah ke Yogya dari Bandung. Kesibukannya sehari-hari membaca koran, bertani ala kadarnya di samping rumahnya, sambil sibuk mengundang teman-teman dekatnya untuk makan, dan menggerutu bersama.

Awalnya aku tidak akrab benar dengannya. Hingga suatu ketika, aku diajak oleh seorang temanku mengunjunginya saat ulang tahun. Alih-alih mengucapkan terimakasih atas kunjungan kami, dia malah menyemprot dengan nada tinggi: kalian pikir ulang tahun untuk orang di atas usia lima puluh adalah hal yang menyenangkan?

Tapi kemarahannya cepat reda. Selebihnya dia memasak lalu kami bertiga minum bir sampai pagi hari.

Sakit apa? Sambil meletakkan bungkusan ikan dan kopi di atas meja, tak seranta aku bertanya.

"Sakit otakku." ujarnya, sambil menyambar bungkusan ikan, dan membedel perut kedua ikan itu dengan cepat. Bumbu alakadarnya disiapkan. Aku meracik kopi. Ketika semua masakan sudah menyala di atas kompor, dia memberi tanda kepadaku, meminta rokok.

Aku memberi kode, bagaimana dengan istrimu?

"Pergi ke Medan, menengok cucu."

Aku mengulungkan bungkus rokokku. Cepat dia mengambil satu, menyalakan, sambil menunggui sup ikannya meletup-letup, sembari sesekali mencicip dan menambah garam. Dia takut merokok kalau di depan istrinya.

Becandamu tak menarik. Aku baru datang dan kamu menelepon seakan sedang sakit sekarat. Aku melakukan sedikit protes.

"Aku memang sakit, tapi tak sekarat."

Dia menata dua piring makan di atas meja makan. Lalu mengangkat satu panci penuh sup ikan. Tanpa menawari, dia langsung menyantap sup itu. Aku hanya mengambil sedikit.

Sakit apa?

"Otakku."

Otakmu korslet? Sebetulnya pertanyaan itu terkesan kurang sopan, tapi memang begitulah aku kalau bicara dengan dia. Usia boleh terpaut hampir 30 tahun, tapi tak ada basa-basi.

"Sudah seminggu ini aku tak bisa tidur nyenyak."

Minum pil tidur saja.

"Sudah. Tapi tak bisa tidur juga. Hanya sebentar saja."

Paling kamu mau mati.

Tiba-tiba dia menghentikan kecipak mulutnya. Diam menatapku. Aku menatapnya sambil menyeruput sup ikan bikinannya yang jauh dari ketegori lezat.

Kenapa?

"Apa yang kamu bilang tadi, persis seperti yang kupikir belakangan ini ketika aku tak bisa tidur."

Biasanya orang yang berpikiran mau mati justru tak mati-mati. Sembari bilang begitu, aku membawa piringku ke tempat cucian, lalu mencuci tangan.

"Aku serius." Dia bangkit. Mencuci tangan sekaligus piring. Kemudian dia duduk, merokok, seperti orang yang sudah berminggu-minggu tak merokok.

"Sebentar lagi kamu akan mengalaminya."

Mengalami apa?

"Pepatah bilang, hidup dimulai di umur 40 tahun. Kamu tahu apa artinya itu?"

Tahu. Tapi pasti kalau aku jawab, kita bakal berselisih pendapat.

"Karena begitu kamu berumur 40 tahun, semuanya bergerak makin cepat. Tiba-tiba 50, tiba-tiba punya menantu, tiba-tiba 60, tiba-tiba cucu-cucumu sudah besar."

Bahagia bukan, kalau bisa momong cucu?

"Bukan di situ poinnya. Setelah 60 tahun, kamu pikir apa yang ada di kepala manusia kalau bukan sebentar lagi bakal mati?"

Kalau mati di umur 80 tahun, masih tersisa 20 tahun lagi. Lumayan.

"Ya kalau 80 tahun. Kalau 64 tahun? Hanya tinggal 4 lebaran lagi."

Jadi hanya karena itu otakmu sakit?

"Kamu belum pernah merasakan bagaimana ketika merayakan usia 50 tahun.."

Apa rasanya?

"Takut. Setiap tambah umur rasanya menjadi siksaan."

Memang kamu mau hidup selamanya?

"Omonganmu seperti omongan orang yang tak takut tua dan tak takut mati."

Aku diam. Dia benar.

"Semua orang berusaha keras menghapus ketakutan mereka akan kematian yang mendekat."

Aku diam. Rasanya dia benar. Bagaimana rasanya punya umur mendekati 60 tahun? Tanyaku sambil membuat secangkir kopi lagi.

"Tak begitu baik. Percayalah sama aku. Serba salah. Mau dialihkan agar tak ingat usia tapi takut tiba-tiba sudah menjelang 70 tahun saking sibuknya. Tapi kalau mengingat-ingat, tak nyaman juga rasanya."

Jadi mana yang kamu pilih?

"Sebetulnya tak ada yang dipilih. Karena hari tetap saja berganti. Esok tetap saja akan tiba. Tidak melakukan apa-apa atau melakukan apa-apa, malam tetap akan datang."

Kenapa tidak menyenangkan diri saja? Kamu bisa menghabiskan waktu mengunjungi anak dan cucumu.

"Kamu tahu kenapa setiap kakek atau nenek sangat menyayangi cucu-cucu mereka?"

Rasa sayang seperti itu tak perlu dianalisis. Tukasku.

"Secara natural memang begitu. Tapi sesungguhnya di balik itu ada sekian hal yang rumit."

Kamu selalu merumitkan hal yang biasa.

"Mereka tahu kalau sebentar lagi bakal mati. Mereka tahu kalau cucu-cucu mereka ada untuk mengisi sebuah masa yang mereka tak akan bisa menikmatinya. Mereka diam-diam cemburu, dan ingin menjadi kanak-kanak lagi. Ingin mengulang hidup lagi. Tapi sadar hal itu tak mungkin."

Mungkin kamu adalah bagian dari sedikit kakek-kakek yang cerewet.

"Tidak. Mereka hanya tak pernah ngomong seterus terang aku."

Beberapa orang tua mempersiapkan mati dengan baik, begitu mereka memasuki umur 60 tahun. Aku masih saja mencoba membantah.

"Kamu pikir kalau mereka mempersiapkan kematian dengan baik, terus akan siap mati dengan mental membaja begitu?"

Ya aku tak tahu.

"Kalau begitu jangan sok tahu!" Nada suaranya agak meninggi.

Lha kok kita malah berantem?

Dia terdiam. "Aku takut mati. Dan otakku sakit memikirkan hal itu."

Giliranku diam. Dia berterus terang atas ketakutannya, apalagi yang bisa kulakukan?

Lalu?

"Ya seperti ini. Mencoba mengalihkan ketakutanku dengan kesibukan dan kesenangan. Bersenang-senang makan dan ngobrol dengan teman-temanku. Mengalihkan dengan menanam sayur-mayur dan bunga. Mengusir ketakutan dengan bercengkerama bersama para cucu..."

Aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Akhirnya aku bilang, kenapa kita tidak bicara tema lain saja yang lebih asyik dari soal kematian?

"Nah, kamu pun terganggu. Padahal cepat atau lambat, kamu pasti ada dalam posisiku. Itu pun jika umurmu cukup panjang."

Kalimat terakhirnya seperti menghantam dadaku. Tapi aku wegah memikirkan kalimat itu. Iseng aku mengambil koran di meja. Di balinya ada sebuah kartu undangan. Aku membacanya sambil mengernyitkan muka: pusat kajian kematian. Apa ini?

"Tak tahu. Ada kawanku, dosen UGM memberikan ini. Kalau aku tertarik, dipersilakan ikut acaranya."

Di mana? Kapan?

"Lusa. Di Kulonprogo."

Kulonprogo daerah mana?

'Samigaluh."

Seketika aku terdiam. Samigaluh? Seperti ada yang tercekat di kerongkonganku. Dadaku berdesir.

"Kenapa?"

Tidak apa-apa.

"Tapi mukamu mendadak pucat."

(Puthut E.A.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar