Pagi tadi saya mencoba mengaduk-aduk seluruh isi lemari di kantor, siapa tahu menemukan 'barang-barang' berharga. Maksudnya apa lagi kalau bukan koleksi pustaka yang menarik untuk dibaca. Ternyata di sana ada banyak sekali buku yang tak pernah beredar di toko. Dan itu menjadi semacam surga kecil untuk saya.
Salah satu buku yang menarik perhatian saya adalah ini, "5 Tahun Kiprah Fraksi Gerindra di Senayan, 2009-2014". Buku ini berisi catatan sikap Fraksi Gerindra atas berbagai isu strategis yang mencuat sepanjang periode 2009 hingga 2014.
Saya baca, di dalamnya juga ada catatan mengenai kontroversi perubahan RUU KPK, yang kini mengemuka kembali.
Berikut adalah cuplikannya:
"Fraksi Partai Gerindra menyatakan, DPR menghadapi buah simalakama dalam hubungannya dengan KPK. Di satu sisi Pimpinan KPK menghendaki sejumlah hal yang meniscayakan perubahan UU No. 30 Tahun 2002 (UU KPK), seperti soal penyidik independen di KPK. Namun, di sisi lain dalam berkali-kali rapat dengan Komisi III, Pimpinan KPK menyatakan UU KPK tidak perlu diubah. Hal ini terjadi karena kekhawatiran bahwa perubahan UU KPK hanya akan melemahkan KPK dan tidak akan memperkuat keberadaan dan kelembagaannya. ...
Rencana revisi terhadap Undang-undang KPK berujung kontroversi karena jika melihat draf (revisi) yang diajukan sangat jelas akan "melemahkan KPK". Terdapat beberapa belas pasal yang diubah dan disiapkan . Ada dua perubahan yang berpotensi kuat memperlemah peran KPK, beberapa pasal tersebut yang pertama seperti tercantum dalam draft Pasal 12A mengenai kewenangan penyadapan oleh KPK harus meminta izin tertulis dari ketua pengadilan negeri. Kedua, kewenangan KPK melakukan penuntutan dihilangkan dan dikembalikan ke kejaksaan.
Memang wacana merevisi UU KPK tersebut sebenarnya sudah lama disuarakan. Di antaranya melalui usulan memangkas kewenangan KPK, seperti dalam bidang penuntutan dan penyadapan yang dituangkan dalam draft revisi UU KPK. Pasal-pasal tersebut sudah 17 kali diuji di Mahkamah Konstitusi (MK) untuk diubah. Namun, keputusan MK tetap konsisten bahwa kewenangan-kewenangan strategis KPK itu tidak melanggar UUD 1945. Kewenangan penyadapan KPK memang sudah seharusnya melekat di lembaga antikorupsi tersebut.
Seperti kita ketahui, KPK saat ini merupakan lembaga yang memiliki audit penyadapan terbaik. Penyadapan ini teknik penyamaran, jika perlu seizin hakim itu sama saja tidak bisa melakukan penyidikan. Begitu juga dengan kewenangan untuk melakukan penuntutan yang memang harus ada di KPK sebagai tanda lembaga itu memiliki kewenangan luar biasa, seperti di negara Malaysia yang mengadopsi hal yang sama untuk Komisi Rasuah.
...
Seperti yang kita ketahui filosofi terbentuknya KPK adalah sebagai antitesis dari korupsi yang dinilai merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Di saat lembaga penegak hukum lainnya seperti Kejaksaan dan Polri dianggap belum mampu memenuhi tuntutan semangat pemberantasan antikorupsi, maka berdirinya KPK adalah benteng terakhir pemberantasan korupsi." (hal. 127-130)
Menengok kembali anatomi persoalannya, revisi UU KPK memang bersifat problematis. Di satu sisi, untuk menguatkan peran KPK dan menghindarkannya dari rongrongan lembaga penegak hukum lain, sebagaimana yang sudah beberapa kali terjadi, mengandaikan adanya perubahan UU KPK, namun di sisi lain perubahan UU itu juga dikhawatirkan akan ditunggangi oleh kepentingan sebaliknya, yang justru akan melemahkan lembaga antirasuah tersebut.
Persis di sini saya kira kita perlu menyadari dua hal penting. Pertama, dalam soal-soal semacam inilah kita perlu untuk bisa membedakan "pohon" dari "hutan"-nya. Masalah pokok dari revisi UU KPK bukanlah terletak pada tindakan revisi itu sendiri (yang dimetaforkan sebagai 'hutan'), melainkan materi yang akan direvisi (yang dimetaforkan sebagai 'pohon').
Membiarkan KPK berada dalam status quo, sebagaimana yang bisa kita simak dari kondisinya hari ini, tentu juga menyedihkan. Di atas kertas ia memang seperti superbody, namun praktiknya, sesudah beberapa kali upaya kriminalisasi atas pimpinan dan penyidiknya, kita bisa sama-sama melihat bahwa dalam kondisi status quo-nya saja ia terus-menerus melemah. Membiarkan KPK terus demikian, tanpa tindakan "medis" yang berarti, tentu saja bukan pilihan yang tepat.
Kedua, kita perlu menyadari bahwa pertarungan sesungguhnya memang terletak di materi perubahan itu sendiri, sehingga tekanan publik mestinya diarahkan ke situ, untuk melindungi dan menjaga pohon-pohon penting yang ingin ditebang.
Masalahnya adalah, selama ini bukan hanya partai politik yang telah mengambil jarak terhadap publik, melainkan publikpun telah menganggap tidak penting untuk merangkul partai politik. Sehingga, ketika ketemu momen-momen semacam ini, publik jadi mengalami sebentuk frustrasi politik, karena mereka jadi tidak punya kaki untuk menitipkan kepentingannya. Buntutnya, kita kemudian selalu terjebak dalam histeria yang semata-mata menolak dan/atau mendukung.
Ada banyak pelajaran penting dari tiap proses demokrasi dan politik. Di luar soal teknis dan administratifnya, kita selama ini memang absen membangun kepercayaan satu sama lain. Partai politik, pemerintah, dan publik, sama-sama memiliki saham atas terciptanya situasi saling tak mempercayai ini.
Mau sampai kapan kebuntuan ini akan diakhiri?! Sampai Ratu Adil turun dari langit?!
Lalu, siapa yang harus mulai duluan?!
(Tarli Nugroho)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar