Berbeda dengan kebanyakan sahabat saya, justru saya setuju dengan program bela negara. Negara harus dibela. Masak dikhianati... AS Roma saja saya bela kok, apalagi tumpah darah saya. Negeri yang udara segarnya saya hirup, airnya saya minum, hasil buminya saya makan, memberi tempat untuk bekerja dan berkarya.
Nah, yang perlu diperjelas adalah definisi dan formulasi 'bela negara'. Apa perlu dilatih seperti militer. Atas dasar apa? Kalau misalnya supaya punya rasa disiplin, militer bukan satu-satunya lembaga yang punya otoritas kedisiplinan. Saya kira mereka akan kalah jauh dibanding para buruh dan petani kita. Atau bahkan dengan kelas menengah Jakarta yang sejak Subuh sudah keluar rumah, kena macet yang ngaudubilah, dan pulang larut malam. Begitu terus setiap hari.
Memang ada yang agak kebelinger dengan konsep bela negara di kalangan elit politik kita sehingga masuk dalam sebuah undang-undang yang dangkal. Menurut saya, para petani yang menjamin bahan makanan ada terus di pasar, telah melakukan tugas penting bela negara. Para nelayan yang telah memberi asupan gizi dengan harga nisbi terjangkau oleh masyarakat kita, juga telah menunaikan dharma bela negara. Para wirausahawan yang telah menciptakan lapangan pekerjaan, para seniman yang telah memberi kontribusi pada wilayah batin, kreativitas, dan buah permenungan, mereka warga yang luarbiasa. Saya kira semua sektor masyarakat telah melakukan aksi bela negara. Malah negara yang harus berendah hati untuk makin membela wargannya.
Tapi hal seperti di atas tentu saja tidak mungkin bisa dimengerti oleh elit politik kita, bukan karena mereka tidak ingin mengerti tapi karena tidak cukup punya kapasitas intelektual.
Bagi mereka, bela negara adalah soal push up, lari-lari, sit up, dan semacamnya. Ya begitulah...
Mungkin saatnya para elit politik kita masuk kamp untuk mendapatkan pelajaran rendah hati.
(Puthut E.A.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar