Pada 10 Juni 2015 lalu, PT Freeport Indonesia menyatakan persetujuan untuk mengubah pola hubungan kerja dari Kontrak Karya menjadi Ijin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), sesuai ketentuan UU No. 4/2009.
Kementerian ESDM pada mulanya berusaha untuk menjadikan persetujuan tersebut sebagai jalan keluar bagi permohonan perpanjangan izin operasi PT Freeport Indonesia, karena seturut UU yang sama, Pasal 83, Menteri ESDM dapat menerbitkan IUPK dengan jangka waktu paling lama 20 tahun dan dapat diperpanjang dua kali masing-masing 10 tahun.
Skenarionya, diterbitkannya IUPK berarti membuat Kontrak Karya PT Freeport Indonesia yang semula akan berakhir pada 2021 menjadi berakhir pada 2015. Namun, dengan status IUPK itu PT Freeport Indonesia akan mendapatkan izin operasi baru hingga 20 tahun, artinya hingga 2035, dan dapat diperpanjang dua kali, artinya bisa hingga 2055.
Jadi, di luar skenario revisi PP No. 77/2014 dan revisi UU No. 4/2009, yang berpotensi bikin gaduh, karena melibatkan stakeholder yang lebih banyak, izin operasi PT Freeport Indonesia secara tidak langsung akan diperpanjang dengan sendirinya melalui peralihan status sebagai IUPK tadi. Itu sebabnya Kementerian ESDM menyebut persetujuan itu sebagai "terobosan hukum". Menteri Sudirman Said bahkan menyebutnya sebagai “format (perpanjangan kontrak) yang tidak melanggar hukum”.
Agar rencana perpanjangan terselubung itu tak dicurigai, kalau kita memeriksa kembali berbagai pernyataan Menteri Sudirman terkait dengan isu ini, maka IUPK untuk PT Freeport tidak akan diberikan 20 tahun, melainkan kurang dari itu. Jadi, tanpa harus mengubah UU No. 4/2009, yang melibatkan DPR, perpanjangan izin Freeport bisa dilakukan.
Tentu saja “terobosan hukum” itu bermasalah, karena Kementerian ESDM kemudian tidak lagi membahas soal itu sesudah bulan Juni 2015, padahal mereka semula mengatakan akan membuat kajian hukum untuk menguji kemungkinan tersebut. Dan reshuffle kabinet pada Agustus 2015 silam sepertinya telah mempersulit revisi PP No. 77/2014, karena konfigurasi para pemain di dapur eksekutif juga berubah, terutama dengan naiknya Luhut Binsar Panjaitan dan masuknya Rizal Ramli. Revisi PP-pun tak lagi mulus sebagaimana yang dibayangkan sebelumnya.
Jadi, di luar tafsir “nyeleneh” kementerian ESDM atas IUPK, ada dua daun pintu sebelah-menyebelah yang kini menghalangi percepatan perpanjangan izin kontrak Freeport, yaitu PP No. 77/2014 dan UU No. 4/2014. Revisi PP merupakan ranah eksekutif, sedangkan revisi UU No. 4/2009 kini sudah masuk Prolegnas dan menjadi hak inisiatif DPR.
Nah, dari awal saya tidak tertarik kepada isu yang dibawa oleh Menteri Sudirman bukan karena menganggap isu itu kecil, melainkan karena isu itu telah mengalihkan perhatian kita dari Freeport dan memberi kesempatan pada PT Freeport Indonesia untuk “buying time” atas berbagai kewajiban yang harus ditunaikannya.
Baik PP No. 77/2014 maupun UU No. 4/2009, keduanya tak pernah berlaku sepenuhnya untuk Freeport, karena Freeport selalu bisa membuat MoU dengan pemerintah terkait pelanggaran-pelanggaran atas kewajiban yang harus ditunaikannya, terutama terkait dua regulasi tadi. Sejak Juli 2014, misalnya, Freeport telah tiga kali memperpanjang MoU dengan pemerintah. Jangankan menegosiasi royalti dan pajak yang lebih besar, kewajiban divestasi saham dan penuntasan pembangunan smelter saja terus-menerus dilanggar, padahal itu tuntutan undang-undang.
Di tengah tarik-menarik kepentingan di tubuh pemerintah terkait revisi PP No. 77/2014, serta proses revisi UU No. 4/2009 yang pasti akan menahun karena melibatkan lebih banyak kepentingan di parlemen, maka sejauh itu saya kira Freeport akan terus beroperasi di atas MoU.
Bisa Anda saksikan, di parlemen, baik mereka yang saat ini berada di pihak yang bersemangat menyerang Setya Novanto, maupun mereka yang kini membelanya, keduanya sama-sama berpijak di atas framing kepentingan yang sama, yaitu kepentingan untuk mengubah atau mempertahankan konfigurasi pimpinan parlemen. Tidak ada poin soal Freeport sama sekali.
Jadi, sementara kita gaduh di satu soal, Freeport punya banyak waktu untuk terus mengulur kewajiban-kewajibannya, termasuk jadi memiliki waktu lebih untuk menyiapkan kartu-kartu lainnya dalam menghadapi perundingan dengan negeri ini.
Jangan lupa, sejauh ini mereka bahkan belum memainkan kartu Papua. Pertengkaran kita akan lebih runcing lagi jika menyangkut soal itu.
(Tarli Nugroho)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar