Guru

Kecuali di media sosial, saya hampir tidak pernah mengucapkan selamat hari guru kepada guru-guru saya secara langsung, tidak juga kepada bapak-ibuk yang merupakan guru SD. Saya meyakini bahwa ucapan langsung semacam itu mungkin tidak berguna dan hanya sekadar basa-basi belaka.

Tumbuh besar di keluarga guru membantu saya memahami bahwa di negeri ini, tidak benar-benar ada "ucapan selamat hari guru" dalam bentuknya yang paling substantif. Mereka yang duduk di kursi kekuasaan dari rezim ke rezim sering bilang bahwa masa depan bangsa terletak pada pendidikannya, dan karena itu guru memiliki peran yang penting. Kitapun pasti bilang hal yang sama. Tapi benarkah ada kebijakan yang berpihak pada guru? Saya ragu.

Waktu ribut-ribut soal sertifikasi guru di era SBY, saya merasakan dari dekat bagaimana dampak kebijakan itu kepada para guru. Guru harus disertifikasi agar dapat gaji dan tunjangan layak. Guru harus memenuhi standar tertentu agar dianggap bisa mengajar dengan baik. Guru harus mencukupi kualitas yang sudah ditentukan pemerintah. Karena itu mereka harus mengurus surat keterangan macam-macam, belajar komputer, mengisi ini-itu selama berbulan-bulan, itupun belum tentu "layak" dan masuk kriteria pemerintah.

Saat itu saya benar-benar marah. Rezim pengetahuan macam apa yang menjadikan seorang guru yang sudah puluhan tahun mengejar, harus belajar komputer yang baru saja dipegang, harus belajar menulis tetek-bengek, dsb, yang sering - dan sebagian besar - tidak relevan dengan apa yang sudah diajarkan selama bertahun-tahun kepada murid-muridnya?

Sementara para komentator juga ikut menyalahkan para guru yang tidak memenuhi standar "kualitas" tersebut. Menyalahkan bahwa guru harusnya mengikuti perkembangan zaman, peka teknologi, kalau sudah tidak mampu mending pensiun saja, bla bla bla. Mungkin mereka tidak tahu, ada guru-guru yang tulus mendoakan murid-muridnya, yang sering tidak mendapat sesuai dengan apa yang mereka berikan, kecuali ucapan terima kasih.

Selamat hari guru.

‪#‎ngomyang‬