Jumat, 13 Februari 2015

Alex Komang

Tiga tahun lalu Alex Komang datang ke Wonosobo utk menyemangati komunitas pembuat film di kota kecil kami. Beberapa kali kemudian obrolan kami di warung kopinya di Duren Tiga, Jakarta Selatan, selalu mengasyikkan. Kabar mendadak, malam ini dia meninggal dunia. Rest in peace, Selamat Jalan, Mas Alex. (Farid Gaban)

Menambang Akik

Beginilah sulitnya menambang batu akik/intan di Martapura, Kalimantan Selatan. Buruh perempuan masuk terowongan sempit bawah tanah, dengan pasokan oksigen dari kompresor tambl ban. "Panas, sakit kepala dan sesak nafas di dalam sana," kata Khosiah, berupah Rp 20 ribu/hari utk menjudikan nyawanya.

Toleransi

Lingkaran tak bisa menyalahkan segitiga dengan alasan segitiga itu bersudut. (Multatuli)

Spiral Kekerasan

Kekerasan bisa dimulai dengan memainkan perasaan diri menjadi korban. "Playing the victim game". Merasa diri menjadi korban, kita merasa memiliki alasan moral utk membalas, menghukum dan jika perlu membunuh. Dari sinilah kekerasan bermula dan potensial menjadi besar. Semakin besar. Hati-hati dengan klaim "Ahmadiyah atau Syiah menista kita kaum Muslim." Padahal yg terjadi cuma perbedaan interpretasi terhadap Islam. Orang bisa menipu diri menjadi korban hanya untuk memuaskan hasrat kekerasan terhadap kelompok lain. (Farid Gaban)

Rabu, 11 Februari 2015

Bukan Nasionalisme

Gak ada banjir di Singapura. Kotanya bersih. Transportasi publiknya bagus dan keren. Tidak ada debat berkepanjangan KPK-Polri. Tapi, kok, saya merasa lebih suka hidup di Indonesia, ya... Semua yg serba tertib dan predictable itu pasti menjemukan. Indonesia itu mengasyikkan mungkin justru karena kekonyolan, unpredictability dan ketidaksempurnaannya. ‪#‎ah‬ (Farid Gaban)

Sepur Kluthuk

Menemukan video jadul, zaman Belanda, yg merekam perjalanan kereta api tenaga uap dari Wonosobo (770 m dpl) ke Purwokerto. Jalur itu sudah mati sekarang; tapi saya pernah naik ketika SMP. Satu-satunya penjelasan kenapa Belanda dulu membangun jalur sepur itu adalah potensi pertanian, perkebunan dan kehutanan Wonosobo (yg sekarang harus dibangkitkan lagi). (Farid Gaban)

Penggembira

Seorang mahasiswa Universitas Indonesia pekan lalu bercerita dia dan teman-temannya diundang untuk menjadi penggembira/penyorak dalam sebuah acara debat di TVOne. Tiap mahasiswa diberi uang saku Rp 50.000, tanpa perlu tahu apa yg diperdebatkan. Satu kelompok, 40 orang, Rp 2 juta. "Uang itu dipakai utk kas kegiatan mahasiswa," katanya. Bagaimana tarif di televisi lain? ‪#‎eh‬ (Farid Gaban)

Selasa, 10 Februari 2015

Mubyarto

Mubyarto mendapatkan gelar doktor dari Iowa State University pada usia 27 tahun (1965). Sumitro Djojohadikusumo mendapatkan gelar doktor dari Netherlands School of Economics pada usia 26 tahun (1943). Pada Agustus 1968, Sumitro, yang berusia 21 tahun lebih tua, meminta Mubyarto untuk menjadi asistennya. Waktu itu Sumitro adalah Menteri Perdagangan RI. Harian Kompas edisi 6 Agustus 1968 memuat berita penunjukkan tersebut. Selama menjadi asisten Pak Mitro, Pak Muby berhasil menulis dua buah buku yang juga menjadi semacam laporan dalam kapasitasnya sebagai asisten menteri. #menyisiriarsip (Tarli Nugroho)

Karangan-Karangan Hatta

Kurang lebih satu dekade silam, ada seorang menteri ekonomi, yang juga merupakan guru besar ekonomi di sebuah perguruan tinggi terkemuka, bercermah dalam sebuah forum. Dia bercerita kalau dirinya baru saja ketemu karangan-karangan Hatta dalam sebuah lawatan ke luar negeri. Pemikiran Hatta, simpulnya, sungguh menarik dan masih sangat relevan dengan kondisi saat ini. Sayangnya, ujar sang menteri, buku-buku karangan Hatta hanya bisa dijumpai di perpustakaan luar negeri dan sebagian besar berbahasa Belanda.

Kota Beton

Banjir? Warga bersalah karena membuang sampah sembarangan? Tentu. Bikin rumah di bantara sungai bikin banjir? Mungkin. Tapi, bagaimana dengan mereka yang membangun mall-mall besar, gedung perkantoran beton, dan jalan tol lebar-lebar atas nama kemajuan sebuah kota? (Farid Gaban)