Sabtu, 28 Februari 2015

UPS

Di luar soal perang opini mengenai APBD antara Gubernur dan DPRD DKI, saya tertarik pada cara kita mengomentari masalah UPS. Banyak dari kita, termasuk saya, tahunya UPS itu cuma yang sekelas untuk PC di rumah atau di kantor. Padahal, ternyata ada UPS yang kapasitasnya bersatuan kilowatt dan harganya memang miliaran, yang biasa digunakan oleh rumah sakit atau instansi-instansi vital. Akhirnya jadi lucu baca komentar-komentar tergesa di timeline soal UPS ini, yang sekadar berdasar pengetahuan yang tidak lengkap. Komentar-komentar itu persis sama dengan sewaktu kita ramai membahas tank Leopard dulu: wah, jembatan-jembatan kita bisa roboh kalau dilewati tank bongsor tersebut. Padahal...

Transparansi Anggaran

Ulasan Elisa Sutanudjaja tentang perlunya transparansi anggaran, dan bagaimana langkah-langkah yang musti diambil pemerintah. Tulisan yang padu dan bernas. Tapi problemnya bukanlah sekedar mengalamatkan kritik dan tuntutan tsb kepada pemerintah --apalagi seperti banyak warga dunia maya seolah mau menjadi juru selamat Ahok-- namun bagaimana caranya agar transparansi anggaran tsb menjadi tuntutan partisipatoris warga Jakarta?.... Sejarah mengajarkan pada kita kunci jawabannya adalah pengorganisasian dan pendidikan dari, bagi dan oleh warga. Ayo! (Harry Wibowo)

Jumat, 27 Februari 2015

Kebulatan Tekad

Awal Februari lalu anggota DPRD DKI mengeluarkan pernyataan di media ihwal anggaran tidak jelas sebesar Rp12 triliun dalam APBD yang mereka anggap sebagai upaya suap Pemda DKI kepada DPRD. Akhir Februari ini kita disuguhi berita ihwal tuduhan Gubernur DKI kepada DPRD bahwa DPRD telah menyelipkan anggaran Rp12,1 triliun yang tidak jelas dalam APBD.

Kamis, 26 Februari 2015

Sistem Perekonomian Pancasila dan Ideologi Ilmu Sosial di Indonesia

Ketika gagasan Ekonomi Pancasila menjadi polemik pada 1981, puluhan sarjana kita, termasuk sejumlah Indonesianis, turut terlibat membahas gagasan tersebut, yang menandai bahwa gagasan itu punya gaung intelektual yang besar. Salah satu pembahasan dan tanggapan yang paling serius muncul, misalnya, dari Arief Budiman. Ia bukan hanya terlibat berpolemik di halaman Kompas dan Prisma, namun juga menulis sebuah buku tanggapan atas gagasan Ekonomi Pancasila. Sebelumnya Arief selalu mengemukakan skeptisismenya pada tradisi ilmu sosial di Indonesia, yang disebutnya sebagai tak akan mungkin bisa menyumbangkan teori baru.

Kenapa Ramai?

Majalah TEMPO No. 22/XI, 1 Agustus 1981, mengangkat laporan utama mengenai polemik Ekonomi Pancasila. Di halaman pertama laporan tersebut, TEMPO memajang foto Profesor Mubyarto sedang duduk bersila di atas dipan. Mengapa ramai? Mengapa jadi polemik? Kenapa polemik ramai itu lalu berubah jadi kempes kembali? #mencarijejak

Rabu, 25 Februari 2015

Surya Paloh Menggugat

Kata Surya Paloh, pers kita tumpul, takut, tidak kritis, tidak jujur dan munafik. Dari Majalah EDITOR No. 9/VI, 21 November 1992. Ya, setiap orang tua memang pernah muda, dulunya. (Tarli Nugroho)

Mencari Jejak

Tulisan pertama di media massa mengenai Ekonomi Pancasila pertama kali muncul di Kompas, 30 Juni 1966. Tulisan itu muncul di halaman pertama, ditulis oleh Emil Salim. Tapi ini bukanlah tulisan pertama mengenai Ekonomi Pancasila.

Selasa, 24 Februari 2015

Senyum Pak Muby

Dari kanan ke kiri, Prof. Dr. Mubyarto, Prof. Dr. Didik J. Rachbini, dan Prof. Dr. Didin S. Damanhuri. Foto ini dimuat Harian Kompas, 16 Mei 2001. Senyum Pak Muby selalu khas. (Tarli Nugroho)

Kebocoran Anggaran Pembangunan

Karikatur Pak GM Sudarta mengenai kebocoran anggaran pembangunan yang dilontarkan Pak Mitro dalam Kongres ISEI 1993. Dimuat di Harian Kompas, 24 November 1993.
Headline Kompas, 23 November 1993.

Pelanggaran HAM

Tulisan Allan Aprianus Depari ini mengangkat problem karatan di hulu sistem hukum (UU) di negeri ini.
like emotikon