Kamis, 18 September 2014

Daoed, Pohon atau Hutan?

Ada banyak yang bertanya kenapa saya mengapresiasi demikian mendalam Daoed Joesoef dan pemikirannya, yang dalam ingatan kolektif kita dianggap sebagai tokoh kontroversial. Mengenai hal ini, saya telah berjanji akan menuliskannya dalam sebuah buku yang cukup pantas, mengenai Daoed dan pemikirannya. Saya kebetulan membaca dan mengkoleksi tulisan-tulisannya yang dipublikasikan sejak 1972 hingga sekarang.


Namun, jawaban ringkasnya kira-kira seperti ini. Daoed, bagi saya, adalah contoh menarik dari betapa ingatan kolektif kita seringkali diwarnai oleh kesulitan memisahkan mutiara dari pasirnya. Semua yang berlumur pasir akan dianggap sebagai kotoran, dan semua pohon dianggap sama dengan hutannya. Dan ingatan kolektif semacam itu juga yang dulu pernah merisaukan Daoed, sehingga ketika jadi menteri pendidikan dia sering berceramah bahwa mahasiswa mestinya menjadi "man of analysis" dan bukan "man of public meeting". Sebab, hanya seorang analitis memang yang akan bisa memisahkan mutiara dari pasirnya, serta mengenali karakter setiap pohon satu per satu, tak dirampatkan sebagai rimba yang menakutkan.

Daoed naik menjadi menteri pendidikan ketika rezim militer Orde Baru baru saja memukul gerakan mahasiswa 1978 di Bandung, setelah sebelumnya mereka menghadapi Malari 1974. Rezim, melalui Kopkamtib, kemudian membungkam gerakan mahasiswa. Gagasan NKK/BKK, yang dasar pemikirannya telah dimasak Daoed sejak kuliah di Perancis, kemudian menanggung dosa dari tindakan refresif rezim itu. Hingga hari ini banyak orang mengecam NKK/BKK karena apa yang dipraktikkan oleh rezim selama periode Daoed menjadi menteri, seolah itulah apa yang dikonsepkan oleh Daoed, tanpa menyimak bagaimana sesungguhnya NKK/BKK yang dikonsep oleh penggagasnya.

Tidak banyak yang mengetahui bahwa tahap akhir dari NKK/BKK yang dikonsepkan Daoed adalah otonomi kampus. Dan otonomi kampus tidak mungkin bisa ditegakkan, menurut Daoed, jika sivitas akademik dalam dunia universiter tak bisa membedakan antara “academic freedom” dengan “freedom of speech”.

Pada zamannya, perpustakaan-perpustakaan sekolah digalakan, IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia) diminta menyelanggarakan pameran-pameran buku secara rutin di ibukota-ibukota provinsi, dan dia memulai sebuah proyek pengkajian filsafat Nusantara dalam bentuk studi Javanologi, Sundanologi, Batakologi, dan filsafat-filsafat etnik lainnya. Arsip-arsip lembaga Javanologi, yang kini masih tersisa di sebuah perpustakaan kecil di dekat Purawisata, Yogyakarta, menjadi tanda bukti ikhtiar intelektual yang pernah dirintis pada zamannya. Sayang, Nugroho Notosusanto, penerusnya, kemudian membubarkan lembaga yang dirintisnya itu.

Hanya sedikit menteri pendidikan kita yang memiliki konsep tentang pendidikan. Dan Daoed, selain Ki Hadjar, adalah salah satunya. Saya berjanji akan menuliskannya dengan seksama.

(Tarli Nugroho)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar