Jumat, 14 November 2014

Patria atau Paria Indonesia?

Dalam salah satu karangannya, Daoed Joesoef (1986) membagi konsep tanah air (patria) menjadi tiga, yaitu (1) tanah air real, (2) tanah air formal, dan (3) tanah air mental. Tanah air real adalah bumi tempat orang dilahirkan dan dibesarkan, tanah yang didiami secara fisik sehari-hari. Sementara, tanah air formal negara-bangsa yang berundang-undang dasar di mana kita menjadi warganya. Tanah air formal kita tak lain adalah Republik Indonesia. Yang terakhir adalah tanah air mental. Tanah air mental tak bersifat teritorial. Ia, menurut Daoed, dapat dikatakan tak dibatasi oleh ruang dan waktu. Ia lebih banyak berupa imajinasi, dan imajinasi ini dibentuk dan dibina oleh ideologi dan seperangkat gagasan vital pendukungnya.

Buku Indonesia Negara Maritim | Foto Facebook Tarli Nugroho

Dalam sebuah tulisan kajian agraria (2014), saya mencoba membuat sejumlah penegasan bahwa secara formal, negara kita adalah “negara kepulauan”, sebagaimana yang disebut dalam Deklarasi Juanda dan UNCLOS. Hanya saja, secara real dan mental, tanah air kita adalah sebuah “benua maritim”. Jika dirincikan, secara konseptual hierarki konsepnya kurang lebih begini:

PATRIA: (1) tanah air real, yang bersifat spasial-teritorial; (2) tanah air formal, yang bersifat politis-struktural; dan (3) tanah air mental, yang bersifat kultural-ideologikal.

AGRARIA: distribusi sumber daya dalam patria untuk menciptakan kemakmuran bersama.

SUMBER DAYA: bisa disebut juga sebagai sumber-sumber agraria, yang mencakup tanah, perairan, hutan, mineral, bahan tambang, dan udara

Relasi antara konsep “patria” (tanah air) dengan konsep “agraria” ini memang perlu mendapatkan perhatian, karena “agraria” adalah pilar penting bagi “patria”.

Jika kita bicara “agraria”, ia bukan semata konsep mengenai tanah agraris, tapi juga persoalan lautan, udara, dan kekayaan alam, sebagaimana yang dirujuk oleh Undang-undang Pokok Agraria 1960. Oleh karenanya tidak mengherankan sistem ekonomi yang dirancang oleh para pendiri Republik ini dahulu adalah “Sistem Ekonomi Agraria”. Ya, jika kita baca Pasal 33 UUD 1945 asli yang dirumuskan oleh Bung Hatta, terutama ayat yang berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya…”, pasal tersebut sebenarnya sedang berbicara mengenai ekonomi agraria yang tidak hanya meliputi daratan, tapi juga lautan. Jadi, patria Indonesia bertegak di atas kedaulatan agraria, dan sistem ekonomi Indonesia adalah sistem ekonomi agraria.

Deklarasi Juanda (1957), yang kemudian diterima sebagai konvensi hukum laut PBB (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) pada 1982, sebenarnya merupakan bentuk penegasan terhadap keberlakuan Pasal 33 UUD 1945 tersebut, sekaligus merupakan bentuk pengakuan internasional bahwa patria Indonesia adalah sebuah negara kepulauan dengan laut sebagai pemersatunya.

Diterimanya Deklarasi Juanda dalam UNCLOS adalah bentuk terusan dari perjuangan kemerdekaan kita, karena sebagai negara kepulauan, Indonesia membutuhkan pengakuan kedaulatan yang berbeda dengan negara-negara kontinental. Laut adalah benteng pertahanan kita.

Celakanya, jika di masa lalu laut diabaikan, ketika pembangunan maritim sedang digembar-gemborkan oleh pemerintahan yang kini sedang berkuasa, kedaulatan kita atasnya justru semakin terancam.

Meski merupakan negara kepulauan, dan merupakan sebuah benua maritim, industri pelayaran Indonesia masih dikuasai asing. Kondisi ini tak banyak berbeda dengan kondisi pada masa kolonial, di mana 95 persen industri pelayaran dikuasai oleh kapal-kapal Belanda. Dulu Belanda menguasai pelayaran domestik melalui KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij) dan pelayaran internasional melalui NISM (Nederlandsch-Indische Stoomboot Maatschappij).

Ketika kita merdeka dan melakukan program nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda, yang kita nasionalisasi dari industri pelayaran Belanda pada 1957 hanyalah kantor-kantor dan bangunannya saja. Sementara, kapal-kapalnya telah dilarikan ke Singapura dan dijual kepada dua perusahaan, Kie Hock Shipping dan Guan Guan Shipping.

Dan ironisnya, kapal-kapal milik kedua perusahaan ini kemudian digunakan oleh para pedagang di Singapura untuk kembali menguasai ekspor barang-barang kita. Ya, kapal-kapal bekas milik Belanda itu memang mudah beroperasi di perairan Indonesia, karena desainnya telah disesuaikan dengan kondisi pelabuhan dan jenis-jenis muatan berbagai produk ekspor Indonesia.

Ketika tahun lalu saya dikirimi Prof. Sri-Edi Swasono buku “Indonesia Negara Maritim”, saya kembali teringat kepada pledoi yang ditulis Mohammad Hatta di hadapan pengadilan Negeri Belanda pada 1928, “… lebih baik Indonesia tenggelam ke dasar lautan daripada menjadi embel-embel bangsa lain…”

Seandainya Hatta masih hidup, dia barangkali akan menangis tersedu. Indonesia sedang terancang tenggelam ke dasar lautan bukan atas dasar keberanian sebagaimana yang pernah diajarkannya, melainkan justru karena semakin mengukuhkan dirinya sebagai embel-embel bangsa lain, dan jadi paria di antara bangsa-bangsa.

Masihkah kita memiliki ingatan bahwa kita adalah keturunan dari sebuah bangsa pejuang?!

(Tarli Nugroho)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar