Genetika kapitalisme tidak terletak dalam ilmu ekonomi, melainkan dalam ilmu akuntansi. Jadi, jika ingin memahami evolusi dan corak kapitalisme, lihatlah sistem akuntansinya. Kesimpulan itu saya peroleh dari obrolan hangat dengan Dr. Revrisond Baswir pada sebuah petang di bilangan Bulaksumur, bertahun-tahun silam.
Kesimpulan itu tentu membawa konsekuensi yang serius. Sebab, dengan begitu, apapun institusi ekonomi yang kita dirikan, termasuk institusi ekonomi yang pada mulanya dimaksudkan sebagai kritik terhadap kapitalisme, jika masih menggunakan sistem akuntansi konvensional, institusi itu pasti akan jatuh sekadar jadi cabang atau ranting dari kapitalisme. Hal ini berlaku pada koperasi dan juga bank syariah.
Oleh karenanya, ketika dua hari yang lalu membaca Jurnal Ekonomika terbaru, yang diterbitkan CISFED (Center for Islamic Studies in Finance, Economics and Development), terus terang saya merasa “surprise”. Di jurnal itu saya menemukan tulisan Dr. Aji Dedi Mulawarman, dosen Akuntansi Unibraw, yang saya kenal pada lima tahun lalu melalui perantara karya-karya Dr. Ir. Hidajat Nataatmadja, dimana ia menulis sebuah artikel yang menurut saya menarik. Judulnya “Akuntansi ‘Tjokro-an’ Kritis ala Tjokroaminoto”.
Sebelumnya, Aji Dedi juga sudah menulis sebuah buku yang mencoba memformulasikan sejumlah kritik paradigmatik Hidajat Nataatmadja terhadap ilmu ekonomi mainstream ke dalam ilmu akuntansi yang kini ditekuninya. Seperti halnya Hidajat, Aji Dedi Mulawarman juga pada mulanya adalah seorang insinyur pertanian.
Tapi saya tidak akan membahas karangannya itu, yang mencoba mem-breakdown gagasan "Sosialisme Islam" Tjokroaminoto ke dalam sistem akuntansi. Saya tergelitik menuliskan itu semua ketika menemukan kembali kliping tulisan Sudirman Said lebih dari dua puluh tahun lalu.
Tulisan ini, “Kolusi Segi Tiga”, dimuat di Majalah TEMPO No. 7/XIV, 16 April 1994. Waktu itu Sudirman masih berstatus dosen STAN dan masih belajar di The George Washington University.
Ini tulisan yang menarik, karena dia membahas skandal Bapindo yang sedang hangat waktu itu dari sudut pandang kaum profesional. Dia menulis bahwa kaum profesional memegang peranan kunci dalam mekanisme alokasi sumber daya dan permainan ekonomi. Keahlian merekalah yang memberikan legitimasi untuk menentukan apakah, misalnya, sebuah perusahaan layak go public atau tidak, termasuk layak menjual obligasi atau tidak.
Tapi profesi-profesi dengan standar etika profesi yang ketat, seperti akuntan, ahli hukum dan bankir, sebutnya, seringkali justru sangat rapuh. Dan itu terjadi biasanya ketika para profesional itu mulai menumpang pada kekuasaan.
Dalam kasus Bapindo, misalnya, Subekti Ismaun, bekas Dirut Bapindo, adalah Ketua Umum Ikatan Akuntan Indonesia. Sedangkan dalam kasus Bank Duta, yang ikut menyeret nama Abdul Gani, yang bersangkutan adalah Ketua Perbanas. Dua kasus itu tentu saja merupakan sejenis tamparan telak terhadap sederet aturan main, norma perilaku, dan kode etik dari profesi akuntan dan bankir. “Kolusi Segi Tiga” antara penguasa, pasar, dan kaum profesional ini tentunya sangat berbahaya, karena borok ekonomi paling busuk sekalipun akan bisa ditutup-tutupi sedemikian rupa.
Itu tentu saja adalah sebuah tulisan yang menarik. Apalagi jika dikaitkan dengan jabatan Sudirman Said saat ini sebagai Menteri ESDM. Lebih menarik lagi karena saat ini dua lembaga penting yang mengatur kebijakan energi di negeri kita, yaitu ESDM dan SKK Migas, sama-sama dipimpin oleh akuntan. ESDM dipimpin Sudirman, dan SKK Migas dipimpin Amien Sunaryadi. Dan kedua-duanya adalah alumni STAN.
Sebagai akuntan, pada pundak keduanya “original intent” dari ilmu akuntansi sebagaimana yang telah disinggung di awal tulisan ini akan kita uji. Jika mereka memilih intensi untuk memperkuat peran dan penguasaan negara di bidang energi, yang menguasai hajat hidup orang banyak itu, maka kita bisa menilai bahwa keduanya telah menjadi “Si Malinkundang” atas genetika ilmu yang ditekuninya. Dan itu akan menjadi Kisah Si Malinkundang yang baik. Namun, jika mereka justru mengedepankan solusi pasar dalam mengurus tata kelola energi, berarti mereka hanyalah dua orang “good boys” saja dari ilmu akuntansi yang menjadi latar belakangnya.
Tuan-tuan sekalian, bersama dengan Tuan Faisal Basri, kami semua kini sedang memperhatikan apakah Anda bertiga sedang berusaha membentuk “Kolusi Segi Tiga” yang membela kepentingan negara, ataukah sebaliknya. Dan itu semua terutama bertolak dari keberanian Anda berdua untuk menjadi Si Malinkundang.
Jadi, beranikah Anda menjadi Si Malinkundang, Tuan Sudirman, dan Tuan Amien, atas “original intent” ilmu akuntansi yang Anda tekuni?!
(Tarli Nugroho)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar