Rabu, 10 Desember 2014

Untuk Karna

Sebentar lagi Karna akan binasa, Nun. Seluruh subsidi kedigdayaan yang dianugerahkan para dewa kepadanya sudah dia sedekahkan untuk kemenangan Arjuna, kesatria yang sering disebut lelananging jagad. Ironisnya, lelananging jagad itu harus diproteksi oleh kecurangan dan keculasan untuk memperoleh kemenangannya. Dan semua itu harus dimafhumi atas nama "membela kebenaran".


Para kesatria mungkin dilahirkan untuk menanggungkan beban pertempuran, luka, dan rasa sakit, sebagaimana secara verbal ditelatahkan oleh epos Mahabharata. Tapi di antara para kesatria itu, Karna adalah penanggung luka yang paling mendalam. Ketika para Pandawa hanya tinggal memiliki dendam yang membara, Karna harus menanggung beban pengetahuan bahwa orang-orang yang harus diperanginya di Kurusetra adalah adik-adiknya sendiri.

Aku selalu tertunduk setiap kali mengingat Karna, Nun. Masih ingatkah kamu ketika petang itu aku bercerita mengenai surat cinta yang ditulis Karna untuk kekasihnya, Rosali, sebelum ia turun berperang di Kurusetra?

"Arjuna berdiri di pihaknya, karena darah yang mengalir di tubuhnya, Kekasihku. Sementara aku, aku memilih pihakku karena kehendakku sendiri. Arjuna berperang untuk sejengkal tanah yang dulu menjadi haknya, sementara aku berperang bukan untuk memperebutkan sesuatu.

Hidupku tak dimulai oleh kodrat, seperti para kesatria itu, melainkan oleh perbuatan. Dari perbuatan lahir pengetahuan, dan dengan itu aku merumuskan diriku sendiri. Ketika Resi Durna menolakku, aku tahu bahwa ilmu telah melambangkan kasta, bukan lagi kebebasan dan persamaan. Dan tindakan besarlah yang telah membebaskanku.

Aku menghormati Duryudana, karena setidaknya dia sudah memberiku sebuah keadilan dan tindakan besar, ketika membela anak sais ini agar bisa berdiri sama tinggi dengan para pangeran itu. Tentu saja aku tahu ia memiliki motif lain. Namun, bukankah setiap orang pernah melakukan hal-hal buruk?!

Kesedihanku bukanlah ketika aku mati dalam perang ini. Melainkan ketika aku tak lagi bisa memandangmu, ketika kau memandangku..."

Itu surat yang pilu, Nun.

Tapi, kisah Karna juga adalah sebuah dongeng klasik tentang perjuangan kelas. Untuk itu, ketika mengingat Karna, sembari menitikan air mata, kita harus tetap menegakkan kepala penuh takzim. Sebab ia adalah kesatria yang istimewa.

Dan takdir orang-orang istimewa, semenjak dulu, memang selalu disalahpahami.


(Tarli Nugroho)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar