Sabtu, 24 Januari 2015

Delapan Abad Magna Carta

Syahdan, pada Abad ke-13 di Inggris, seorang raja punya hak berhubungan seks dengan pengantin perempuan di malam pertama sebelum suaminya sendiri. Prima nocta. Setidaknya, itulah yang tergambar dalam film “Braveheart” karya Mel Gibson (1995).

Brutal dan barbar? Sebagian orang menganggap praktek seperti itu benar-benar terjadi. Sebagian lain menilainya sekadar mitos. Tapi, hampir semua pihak sepakat bahwa di masa lalu seorang raja memang bisa memiliki kekuasaan tanpa batas terhadap hidup, harta serta tubuh rakyatnya.

Kekuasaan brutal raja Inggris King John memicu pemberontakan di kalangan bangsawan kecil (adipati) dan para pendeta. Mereka menarik sumpah setia kepada raja, yang secara kasar merampas harta benda rakyat. Ketika para pemberontak berhasil merangsek London, King John melunak.

Di Runnymede, kota kecil tepian Sungai Thames, pada Juni 1215, Raja menandatangani kesepakatan dengan para pemberontak. Sebagai balasan memperoleh kembali sumpah setia, King John mengurangi kekuasaannya terhadap harta dan tubuh rakyatnya; melarang praktek penahanan orang tanpa batas waktu.

King John mengkhianati perjanjian itu hanya sebentar setelah dokumen dibubuhi cap kerajaan. Pemberontakan yang lebih besar marak. Raja-raja Inggris sesudahnya menyadari bahwa perdamaian hanya bisa dicapai dengan memperkuat, bukan mengabaikan, perjanjian tadi.

Dokumen perjanjian itu belakangan dikenal sebagai Magna Carta, atau Piagam Agung, yang tahun ini kita peringati 800 tahun usianya.

Magna Carta dipandang sebagai tonggak kemajuan peradaban umat manusia. Perjanjian Agung itu diterima sebagai landasan pemerintahan modern yang baik, ketika kekuasaan hukum menggantikan kekuasaan otot, senjata dan mitos kebangsawanan turun-temurun.

Charta” adalah bahasa Latin atau Yunani Kuno yang berarti “kertas”. Kesepakatan tertulis, bukan senjata, menjadi landasan keadaban dan kesantunan hubungan antar-manusia. Politik, menurut ungkapan Yunani Kuno, pada dasarnya memindahkan pertengkaran dan perkelahian dari jalanan ke perjuangan lewat forum konsultasi. Dari bullet (peluru) ke ballot (kotak suara).

Magna Carta, Piagam Hak Asasi (Bill of Rights) dan berbagai dokumen yang menyempurnakannya mengilhami konstitusi banyak negara. Konstitusi merupakan hukum tertinggi yang mengikat penguasa dengan rakyatnya, pembayar pajak, dalam berbagai aspek: politik, sosial, hukum dan ekonomi.

Konstitusi Indonesia juga diilhami oleh Magna Carta. Dan tujuh puluh tahun setelah ditulis pertama kali kita bisa menilai apakah konstitusi kita sekadar macan kertas ompong.

Hak asasi tak hanya terbatas pada hak politik, berbicara, berserikat dan hak bebas dari teror atau penahanan. Tapi, juga hak sosial dan ekonomi.

Pada 1217, Magna Carta direvisi dengan memasukkan Piagam Hutan; yakni hak rakyat atas ruang publik untuk menggembalakan ternak, berburu, memancing, serta hak atas air bersih dan kayu bakar. Piagam Hutan tadi tak hanya merupakan piagam ekologis pertama dalam sejarah, tapi juga pengakuan atas hak ekonomi rakyat.

Kampanye memulihkan kembali semangat Magna Carta harus mencakup kampanye mengembalikan hak rakyat atas kekayaan-bersama (bumi, air dan seisinya); serta memulihkan ruang publik dan kenyamanannya.

Mencakup pula kampanye menentang privatisasi berlebihan yang membuat negara maupun rakyat kehilangan kendali atas hidup dan alam lingkungannya. Menyerahkan ekonomi kepada "mekanisme pasar" adalah menghadapkan rakyat pada kesewang-wenangan ala bangsawan di era barbar.

Tapi, bahkan hak asasi yang kasat mata masih menjadi problem serius di Indonesia. Kebebasan berserikat, termasuk pembentukan serikat buruh, masih merupakan barang mewah dan berisiko.

Kesadaran akan “the rule of law” masih rendah justru di kalangan orang berkuasa: polisi seenaknya menembak mati tersangka, menyiksa tahanan, memeras yang lemah. Jaksa dan hakim cenderung membela yang kaya dan berkuasa. Hukum masih cenderung tajam ke bawah, dan membuat orang sinis dengan penegakan hukum. Kekacauan dan kekerasan di jalanan adalah konsekuensi dari itu semua.

Bahkan barbarisme belum cukup berhenti di situ. Tes keperawanan untuk perempuan di kalangan polisi, prajurit dan pegawai negeri yang belakangan ini diusulkan, hanya menyeret kita kembali ke delapan abad lalu ketika prima nocta masih diterapkan.***

(Farid Gaban)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar