Sejak Reformasi, jabatan Jaksa Agung dan Kapolri adalah "centeng hukum" bagi istana. Apalagi setelah terbentuknya KPK, sebuah lembaga superbody yang relatif tak mudah dikontrol baik oleh istana maupun parlemen, fungsi centeng istana itu semakin efektif dan terkonsolidasi. Itu sebabnya kisruh soal jabatan Kapolri yang menyita perhatian kita pada dua pekan terakhir perlu juga dilihat dari sudut pandang tersebut.
Setelah Busyro Muqoddas habis masa jabatannya tahun lalu, empat komisioner KPK lainnya juga akan habis masa jabatannya pada Desember nanti. Itu sebabnya pada April nanti panitia seleksi komisioner KPK yang baru sudah harus terbentuk dan mulai bekerja.
Inilah yang mungkin telah membuat istana memberhentikan secara mendadak Jenderal Sutarman sebagai Kapolri dan menyorongkan nama kontroversial Budi Gunawan sebagai penggantinya. Prinsipnya, istana sudah harus memilih centengnya sebelum pansel KPK mulai dibentuk dan menyerahkan nama ke DPR.
Dengan komposisi parlemen yang dikuasai oleh partai non-pemerintah, penggantian dini Kapolri memang harus dianggap penting oleh istana. Mereka tentu saja tak ingin kalah langkah dari DPR. Itu pula sebabnya pemberhentian Sutarman tak melibatkan pertimbangan DPR sebagaimana seharusnya.
Penalarannya sederhana. Kalau Sutarman dibiarkan menghabiskan jabatannya hingga Oktober nanti, maka pada waktu yang hampir bersamaan DPR juga sudah menerima nama-nama yang akan diseleksi jadi komisioner KPK. Fit and proper test Kapolri oleh DPR, yang hampir bersamaan dengan seleksi komisioner KPK juga oleh DPR, tentu akan membuat posisi tawar DPR lebih kuat dari istana. Belum lagi jika hingga Oktober itu semua kandidat Kapolri yang digadang-gadang istana kemudian ditetapkan sebagai tersangka oleh komisioner KPK saat ini. Itu sebabnya, sebelum tenggat jabatan Sutarman habis, posisi itu sudah harus diisi.
Pertanyaannya, kenapa yang dipilih adalah figur yang bermasalah?! Jawabannya sepertinya simpel: memilih figur yang bersih tentu saja adalah sebuah tindakan bunuh diri.
Lalu, bagaimana seharusnya sikap kita?
Berhentilah menilai permainan catur hanya dari langkah-langkah pion. Lihatlah permainan secara utuh.
(Tarli Nugroho)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar