Sabtu, 31 Januari 2015

Selbstlösigkeit

Pada 2 Februari pekan depan, Profesor Sri-Edi Swasono akan memberikan 'rede', atau pidato ilmiah, dalam Dies Natalis ke-65 Universitas Indonesia. Sudah beberapa tahun Dies UI tidak pernah disertai 'rede', demikian cerita Pak Edi ketika kami berbincang beberapa malam silam. Dan ia merasa mendapat kehormatan ketika diminta Rektor UI untuk memberikan pidato tahun ini.

Sebagai tanda keseriusannya dalam menyusun pidato, Pak Edi mengajak berbincang sejumlah orang, baik di Jakarta maupun di Yogya. Karena ia akan menitikberatkan uraiannya pada soal kebudayaan, ia telah mengajak diskusi sejumlah pemikir kebudayaan. Itu sebabnya, dalam kesempatan berbincang malam itu, Pak Edi mengajak saya membahas sebuah karya Fuad Hassan, "Kami dan Kita".

Pada kesempatan itulah saya menyinggung pidato Profesor Soepomo dalam Dies Natalis UI tahun 1953. Waktu itu Soepomo adalah Presiden (kini Rektor) Universitet Indonesia. Di situ Soepomo memberikan penegasan bahwa tugas universitas bukanlah hanya mendidik manusia "gunawan", melainkan juga "budiman", yang belakangan dengan sangat baik dipertajam oleh Daoed Joesoef dengan penegasan bahwa tugas universitas bukanlah menghasilkan "teknokrat", tetapi "teknosof". Teknokrat hanyalah seorang gunawan, sementara teknosof adalah seorang gunawan yang budiman.

Kontan, setelah mendengar soal pidato Soepomo itu, Pak Edi meminta saya untuk mengirimkan kopi pidato tersebut via faks, karena ia harus menyerahkan naskah pidatonya segera ke panitia Dies. Ini adalah penampakan buku pidato Dies UI tahun 1953. Selain pidato resmi Soepomo sebagai presiden universitas, buku ini memuat 'rede' yang diberikan Profesor Sumitro Djojohadikusumo. Itu sebuah pidato ilmiah yang panjang tentang pembangunan daerah.


Pidato ketiga, siapa lagi kalau bukan oleh Soekarno. Bung Karno bicara tentang watak "selbstlösigkeit" dari dunia kesarjanaan. Dalam bahasa Indonesia, ujarnya, selbstlösigkeit kurang lebih sama artinya dengan "sepi ing pamrih". Menjadi sarjana adalah menjadi abdi bagi kemaslahatan. Itu sebabnya lembaga aplikasi keilmuan di dunia universiter kita hingga kini masih disebut sebagai "Lembaga Pengabdian pada Masyarakat", meskipun "pengabdian" di sana pengertiannya kini sudah bergeser.

(Tarli Nugroho)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar