Senin, 16 Maret 2015

Tentang “Teologi Negatif Ibn ‘Arabi”: Sebuah Percakapan

Medio 2013, Achmad Fawaid (AF), seorang peneliti sastra dan pembaca filsafat di Yogyakarta, terlibat percakapan tertulis dengan penulis (MAF) mengenai buku “Teologi Negatif Ibn ‘Arabi: Kritik Metafisika Ketuhanan” (LKiS, 2012). Percakapan panjang itu mendiskusikan dan memperdalam beberapa pembacaan atas buku tersebut, yang dirasakan belum disinggung atau belum tuntas dibahas dalam berbagai resensi atau diskusi buku itu. Belum semua pertanyaan yang lahir dari percakapan itu terjawab, sebagian dibiarkan terbuka dan masing-masing seperti harus berhadapan dengan kebuntuan (aporia)-nya sendiri. Karena sebuah buku yang telah jadi, kata Maurice Blanchot, adalah hampir selalu merupakan sebuah “buku yang akan datang” (“le livre à venir”), demikian pula sebuah percakapan hampir selalu merupakan sebuah percakapan yang tak selesai-selesai (“entretien infini”). Percakapan berikut adalah petikannya.

AF – Dalam The Prayers and Tears of Jacques Derrida, John Caputo pernah bercerita tentang presentasi Derrida mengenai “différance” pada tahun 1968. Saat itu, ada seorang partisipan yang bertanya dengan sedikit jengkel: “Différance is the source of everything and one cannot know it: it is the God of negative theology”. Apa jawab Derrida? “It is and it is not”. Izinkan saya memulai percakapan ini dengan kutipan anekdot. Setelah menulis Derrida, Anda menerbitkan buku yang berjudul Teologi Negatif Ibn ‘Arabi. Apa ada keterkaitan antara keduanya, seperti disiratkan oleh anekdot tersebut?

MAF – Saya mungkin akan mencoba menjawab seperti jawaban Derrida: there is and there is not. Ada keterkaitan dan benang merah tertentu antara keduanya, tetapi juga terdapat keterputusan-keterputusan, atau “belokan-belokan”. Seperti mungkin Bung baca, Derrida tidak menangani secara khusus tema “teologi negatif”; istilah itu muncul sekali atau dua kali dalam pembahasan mengenai “agama tanpa agama” yang membentuk apa yang waktu itu saya tulis sebagai “dimensi teologis” dari dekonstruksi. Pada bagian itu, dengan sedikit provokatif, saya mencoba memunculkan suatu pertanyaan yang mungkin kurang terdengar nyaman bagi kita kaum beragama, tentang mungkinkah berpikir tentang “agama tanpa agama”, yaitu agama yang melampaui dimensi institusionalnya dan merupakan nama, metonimi, dari pengalaman ketelanjangan absolut di hadapan “Tuhan”? Suatu pertanyaan besar yang kedengaran programatis. Secara kasar, saya masih menyebut di sana bahwa “agama tanpa agama” merupakan suatu bentuk pengalaman religius, tetapi kemudian saya menyadari bahwa kalaupun itu merupakan pengalaman religius, pengalaman itu sendiri tidak mungkin; dengan kata lain, pengalaman itu mesti muncul sebagai pengalaman yang mustahil, karena alasan yang mendasar: “Tuhan” yang dialaminya, yang coba dialaminya, adalah “Tuhan yang mustahil”. Jadi “agama tanpa agama” itu tidak mungkin hadir sebagai pengalaman religius. Istilah pengalaman religius, setidaknya sebagaimana didefinisikan oleh orang-orang semacam William James dan dalam literatur kajian agama secara umum, masih terlalu homogen untuk menggambarkan pengalaman itu. Di sini saya menemukan bahwa kalaupun pengalaman itu mungkin, ia hanya bisa diungkapkan dalam bahasa pencarian dan perjalanan yang di dalam prosesnya selalu auto-negatif, dalam arti melakukan negasi terus-menerus. Kosakata pencarian dan perjalanan ini, saya temukan, begitu kaya dalam tradisi sufi, juga mistisisme agama-agama secara umum. Di titik itu saya menemukan bahwa “agama tanpa agama” hanya mungkin melalui “teologi negatif”. Di Derrida “teologi negatif” baru diidentifikasi dengan apofatisme, sementara itu baru satu aspek saja dari “teologi negatif” – itu saya sadari ketika menulis Teologi Negatif Ibn ‘Arabi – karena di sisi lain, “teologi negatif”, apa yang saya coba sebut dengan “teologi negatif” itu, juga bekerja, dimungkinkan, dan dikondisikan oleh suatu sikap afirmatif yang, secara paradoksal, tidak afirmatif, yaitu negasi, penegasian terus-menerus, yang menyiratkan suatu aktivitas, berbeda dari pasivitas yang dikesankan oleh sisi apofatismenya. Ini mungkin “tanpa” (sans) itu, pada “agama tanpa agama”. Bisa dibilang, Teologi Negatif Ibn ‘Arabi adalah upaya untuk memperdalam dan memperluas fungsi “tanpa” itu, yang aktif namun pasif, yang pasif namun aktif, dengan mengambil bahan yang sama sekali berbeda, bukan lagi teks filsafat, tetapi teks mistiko-filosofis, teks tasawuf yang lebih akrab dengan tradisi saya sebagai seorang santri.

Tapi, sebenarnya persis pada titik unik yang singular itu, yang menghubungkan dua teks itu, Bung bisa menemukan – beberapa dengan mudah, beberapa yang lain mungkin dengan agak samar – titik yang memisahkan keduanya. Secara umum, “style” Teologi Negatif Ibn ‘Arabi sangat tidak “Derridean”; eksposisinya mengambil bentuk eksposisi yang lebih konvensional daripada Derrida, lebih didaktik mungkin, dan “dogmatis” (untuk meminjam istilah Derrida). Saya menyadari itu risiko dari sebuah cara, salah satu cara, untuk menjawab pertanyaan di epilog Derrida, yang cukup kerap menghantui selama vakum yang cukup panjang antara kedua teks itu, “Ada apa setelah Derrida?”. Menjawab sendiri pertanyaan yang entah saat itu tiba-tiba muncul di epilog buku itu. Pertanyaan itu dekonstruktif, tapi juga eksistensial: bila ada yang bernama “pasca-Derrida”, itu berarti “Derrida” harus berakhir, itu berarti Derrida, buku itu, juga harus “berakhir”, akhir untuk sesuatu yang lain, yang baru, yang berbeda. Agar sesuatu yang lain mengambil tempat, harus ada sesuatu yang lama yang direlakan untuk pergi. Akhirnya, saya lega bahwa buku itu mengalami auto-dekonstruksi sebagai suatu Buku. Ia hadir untuk pertama kalinya, tapi untuk pertama kalinya juga ia mengakhiri kehadirannya. Ia berakhir tepat ketika ia baru memulai. Saya ingat kata-kata Althusser, yang terdengar enigmatik, bahwa dalam filsafat, kita memulai dari akhir. Dengan kata lain, filsafat bermula dari kesimpulan, dari epilog. Dan saya tidak menyesali bahwa Derrida telah “berakhir” bagi saya, bagi saya secara khusus, sebagai Buku.

“Pengakhiran” itu memang seperti datang terlalu dini, dan pada awalnya traumatik, karena terus menghantui nyaris setiap saat – bagaimana sebuah buku “pertama” bisa sekaligus pada saat yang sama buku yang “terakhir”? Selama periode-periode itu, alih-alih melakukan langkah maju, saya mencoba mundur selangkah demi selangkah dari apa yang sudah saya mulai, berharap menemukan sesuatu. Saat itu, bersama kawan-kawan dari Being Community, saya mengkaji lagi Being and Time Heidegger, membaca lagi Husserl dan fenomenologi, di tengah-tengah, pada saat yang sama, ketertarikan yang makin intens terhadap Ibn ‘Arabi. Konstelasi yang aneh, antara pemikiran Abad Pertengahan dan metafisika abad kedua puluh. Titik temu yang mustahil itu, namun demikian, terajut oleh suatu konsep yang sederhana: “negasi”, yang dalam istilah Ibn ‘Arabi, al-nafy. Kembali lagi ke “teologi negatif” yang disinggung secara sangat kikir di Derrida, jika “tanpa” merupakan negativitas dalam bentuknya yang murni, melalui Ibn ‘Arabi saya menemukan bahwa ia bukan semata-mata negativitas, tetapi juga suatu negasi, yang aktif, yang saya istilahkan dalam sebuah naskah buku yang dulu sempat saya persiapkan tentang “filsafat negasi”, sebagai “negasiasi”, penegasian terus-menerus. Negativitas itu tidak ada begitu saja, sebagai suatu kekosongan yang statis, suatu “ngarai terjal” yang disebut Heidegger sebagai Abgrund, yang-tak-berdasar itu, tetapi kekosongan yang diisi, tanpa terisi, diisi terus-menerus, oleh konsep dan gerak dari konsep. “Negasi” itu sendiri konsep, namun sebagai konsep, agar ia bisa eksis sebagai konsep, ia harus meleburkan dirinya dalam gerak menegasi. Mungkin ini titik perpisahan pertama dengan Derrida: saya perlu kembali lagi ke Hegel. Dengan kata lain, meninggalkan gestur dekonstruksi untuk kembali ke metafisika – itu salah satu alasan mengapa kritik atas logosentrisme itu tidak lagi mengambil bentuk “dekonstruksi”, melainkan “kritik metafisika”. Dari Derrida saya belajar bahwa “kembali” bukan berarti repetisi reproduktif; “kembali” bukan nostalgia, tetapi reorientasi.

Apakah itu berarti bahwa Derrida sama sekali tidak berpengaruh terhadap pandangan Anda tentang teologi negatif dalam buku Teologi Negatif Ibn ‘Arabi?

Pengaruh itu ada. Hanya sepertinya kita perlu memilah antara Derrida dan Teologi Negatif Ibn ‘Arabi sebagai dua teks yang, seperti saya bilang tadi, memiliki keterkaitan walaupun berbeda kemudian dalam orientasinya, dan di sisi lain, antara Derrida dan interpretasi saya terhadap Ibn ‘Arabi dan “teologi negatif” secara umum. Pengaruh itu, pertama, memang dibuka oleh apa yang tadi Bung sebut, “différance”. Pemikiran Derrida tentang différance, caranya mengajukan différance sebagai suatu “konsep” filosofis, suatu “konsep” yang mengganggu dan mensubversi filsafat dari dalam – saya tahu bahwa bagi Derrida, différance bukan objek filosofis yang dapat dikategorikan sebagai “konsep”, tapi untuk sementara kita tinggalkan keberatan itu – membawa saya pada gagasan bahwa berpikir esensial itu tidak cukup. Tidak cukup, bukan karena semata-mata problematis dan bermasalah, tetapi tidak cukup, karena itu merupakan prosedur berpikir yang sering kali paling mudah. Ada suatu ekonomi yang bekerja dalam setiap pola berpikir esensial, yaitu bahwa ia dilakukan untuk membuat orang percaya. Dan begitu kepercayaan itu terbentuk, maka sesuatu dianggap selesai. Gagasan Derrida tentang différance memungkinkan saya untuk mengambil jarak tertentu dengan konsepsi esensial yang saya terima atau pelajari. Dalam hal ini, konsepsi esensial itu menyangkut “ketuhanan”, menyangkut yang kita sebut “Tuhan”. Operasi différance itu sederhananya mengambil bentuk di sini dalam logika non-identitas, di mana saya bertanya-tanya – pertanyaan ini tentu tampak polos, tapi saya kira di situlah “teologi negatif” itu bermula – “Apa yang terjadi apabila ‘Tuhan’ bukan seperti yang selama ini saya representasikan atau bayangkan? Apa yang terjadi apabila ‘Tuhan’ bukan seperti yang selama ini saya pikirkan atau saya pelajari dari buku-buku teologi?”. Pertanyaan itu memunculkan keterbelahan di dalam konsep esensial “ketuhanan” yang saya terima dan saya internalisasi dalam representasi teologis yang membentuk keimanan saya. Suatu keterbelahan di mana saya dapat bertanya lebih lanjut: jika Tuhan memang identik dengan apa yang selama ini saya representasikan, apa yang terjadi? Jika tidak, apa yang terjadi? Dan seterusnya. Pertanyaan itu tampak eksistensial, tapi itu pertanyaan yang teoretis, yang menyangkut tradisi teologi secara umum.

Operasi différance itu persisnya terdiri dari permainan antara gerak membelah suatu kesatuan, suatu hal yang kita terima sebagai satu kesatuan, dan gerak menyatukan apa yang terbelah, untuk melihat dan mempertunjukkan kesatuannya, koherensi, integralitasnya sebagai suatu konsep. Itu bentuk operasi yang lebih halus dan mendalam daripada operasi différance yang lebih terlihat, lebih kasat (yang sebagian versinya dipertahankan dalam Derrida): gerak “menunda-membedakan”. Gerak membelah itu meretas logika identitas, antara keidentikan representasi dan representannya, antara pemikiran saya tentang “Tuhan” dan realitas “ketuhanan”, antara representasi dan yang riil, menyisipkan non-identitas radikal di antara keduanya, yang hanya bisa muncul dalam teologi sebagai suatu kesatuan yang solid. Titik di mana non-identitas itu retas, walaupun demikian, tidak permanen dan tidak membentuk suatu mediasi yang terpisah dan mandiri, semacam struktur “ketiga” yang mengantarai dua hal. Tidak. Non-identitas itu hanya mungkin sebagai suatu retakan yang selalu dijahit oleh positivitas diskursus, ia adalah semacam vanishing point, titik yang muncul untuk lenyap di dalam lapisan diskursus, dalam hal ini diskursus teologi. Sebab bila titik itu sampai permanen, maka “Tuhan” menjadi sepenuhnya tidak dapat dibicarakan dan keimanan hanyalah nama lain bagi kesia-siaan. Atau kita menjadi agnostik. Karena ketidakpedulian pada “Tuhan” itu muncul dari non-identitas yang dipermanenkan.

Mungkin itu satu-satunya titik di mana terletak keterkaitan antara Derrida dan apa yang ditulis di Teologi Negatif Ibn ‘Arabi, selain hal yang lebih eksplisit, yang tertulis di sana dan tidak perlu saya ulang di sini, tentang identifikasi teologi dengan “logosentrisme”. Suatu tesis yang lebih eksplisit dan lebih mudah dicerna. Tetapi, yang lebih penting adalah mencari tahu kemudian, dalam arti apa teologi itu “logosentris”? Bagaimana “logosentrisme” bekerja dalam teologi?, dan seterusnya.

Kalaupun pengaruh itu ada, secara keseluruhan Teologi Negatif Ibn ‘Arabi itu juga tidak sepenuhnya mengikuti diskursus Derridean tentang teologi negatif. Satu-satunya teks yang ditulis Derrida, yang dirujuk dengan sangat jarang di buku itu, adalah Sauf le nom, atau On the Name dalam versi Inggris-nya. Di dalam teks ini dengan eksplisit Derrida menulis bahwa “teologi negatif” hanya mungkin dibicarakan dalam persilangan antara dua tradisi: metafisika Yunani dan teologi Kristen. Bagi Derrida, tidak ada “teologi negatif” in terminus pada tradisi-tradisi di luar keduanya, yaitu Yahudi, Islam, atau Buddhisme. Teologi Negatif Ibn ‘Arabi menunjukkan sebaliknya.

Ada nama satu lagi yang tertinggal. Saya membaca di Teologi Negatif Ibn ‘Arabi, Anda beberapa kali menyebut Levinas dan gagasannya tentang the Infinite, bahkan memberi tempat yang cukup signifikan pada gagasan ini, yakni infinity of being

Bukan cuma konsep infinity of being, tapi juga economy of being, dan sejumlah konsep lain seperti “ketertekanan transendental”, dan lain-lain. Levinas memang tidak dapat dihindarkan memberi warna tersendiri bagi diskursus teologi negatif. Walaupun tidak semua diskursus itu niscaya Levinasian.

Tapi kalau apropriasi atas term-term Levinasian itu mungkin terjadi di buku itu, itu karena problem infinity itu muncul dari logika non-identitas yang sebelumnya didiskusikan. Ketegangan yang dibuka oleh prefiks “in-” dari the in-finity itu hanya muncul dari disproporsi dan retakan yang dibuka oleh logika non-identitas. Di sini kurang lebih signifikansi dari transendensi yang disebut di dalam buku itu. Transendensi itu, yaitu pelampauan atas finitude (“keberhinggaan”, yang juga dapat diartikan “keterbatasan”, “keterikatan”, “keterkungkungan” – kemungkinan-kemungkinan alih bahasa ini masing-masing memiliki tekanan yang berbeda), muncul dalam ketegangan di dalam non-identitas dalam relasi-non-relasi saya dengan “Tuhan”. Hal ini, belakangan saya sadari, merupakan sesuatu yang lebih mendasar daripada motif etis yang mewarnai pertemuan antara Derrida dan Levinas, yang menarik beberapa pasase Derrida.

Dalam arti apa ketegangan itu mengambil porsi yang penting dalam “kritik metafisika”? Kalau Bung melihat saya masih menggunakan term-term Levinasian untuk menandai titik-titik di mana kritik itu mungkin dibangun, saya melakukannya bukan dengan kesetiaan penuh kepada skema Levinas sendiri. Sedikitnya ada dua titik di mana saya meminjam bahasa Levinas, namun dengan tidak menyetujui sepenuhnya tesisnya. Pertama, dalam hubungan antara transendensi dan negativitas, dan kedua, pada pembedaan antara metafisika dan ontologi.

Levinas secara tersurat menulis bahwa “transendensi bukanlah negativitas” (Totality and Infinity, hlm. 40). Transendensi, bagi Levinas, harus dibedakan dari negativitas, dan tidak dapat dipikirkan dalam suatu modus menegasi. Itu karena transendensi, menurut Levinas, adalah suatu cara melampaui yang tidak melalui mediasi konsep atau tindakan menegasi; “transendensi”, baginya, adalah suatu kategori positif yang mengandung idea tentang kesempurnaan (perfection), tentang yang sempurna (the perfect), tanpa membutuhkan keikutsertaan negativitas untuk mengafirmasi kesempurnaan itu. “Kesempurnaan mengatasi konsepsi, meluberi konsep,” tulisnya. Ada kemelimpahan dalam transendensi yang mengatasi negativitas. Hal itu lebih lanjut karena “negativitas”, bagi Levinas, adalah suatu kategori dari totalitas, dari dialektika yang dilakukan oleh yang parsial, yang berhingga (misalnya “Aku”) untuk mencapai totalitas yang lebih tinggi (misalnya “Kami”, hasil dari negasi “Aku” dan “Engkau”), padahal relasi etis yang sebenarnya, menurutnya, tidak dapat terjadi dengan totalitas ini.

Sebaliknya, saya berpijak pada suatu keterkaitan antara negativitas dan transendensi. Transendensi dapat ditetapkan sebagai suatu gerak idea tentang kesempurnaan – pelampauan atas keberhinggaan dan kesamaan – tetapi itu suatu gerak yang memperhitungkan dan melibatkan bersamanya suatu tindak menegasi, suatu “dialektika” minimal yang mendorong keberhinggaan ke tahap klimaksnya yang paling maksimum sebelum akhirnya pecah dalam pertemuan dengan Yang Tak Berhingga. Agar transendensi menjadi relasi yang sejati dengan “Tuhan”, ia mesti berupa suatu non-relasi, suatu keterputusan yang lahir secara langsung atau tak langsung melalui negasi; dengan kata lain, ia mesti berupa suatu negativitas. Hal ini, dibawakan kepada being, mengandaikan bahwa being mesti ditetapkan sebagai hal yang di dalam dirinya terekspos kepada negativitas dan transendensi, sedemikian hingga ketika kategori ini berlaku bagi “Tuhan”, ia menjadi transendental melalui negativitas yang menyertainya.

Yang kedua, Levinas membedakan antara metafisika dan ontologi, dengan menyatakan bahwa “metafisika mendahului ontologi”. Ini sejalan dengan upanya untuk memilah antara “metafisika”, sebagai cara berpikir baru yang tidak berlangsung melalui prosedur totalitas, dan “ontologi”, sebagai cara berpikir tradisional filsafat yang berujung kepada totalitas dan netralisasi atas kelainan Yang Lain. Metafisika mendahului ontologi, sebagaimana etika mendahului filsafat. Sebaliknya, saya tidak membedakan keduanya – metafisika itu bersifat ontologis. Ketakterbedaan ini lebih mendekati konsepsi Derrida, yang memahami metafisika atau ontologi sebagai cara berpikir tentang ada (être) sebagai yang-ada (étant), daripada Levinas.

Ini menarik. Dalam Writing and Difference, Derrida pernah menyebut bahwa pemikiran Levinas “membuat kita tergetar” (make us tremble). Tanpa bermaksud berlebihan, Derrida, saya pikir, punya alasan tersendiri menyebut demikian. Apakah ketergetaran itu juga Anda rasakan saat menulis Ibn ‘Arabi? Dalam kata pengantar, Anda mengafirmasi bahwa seseorang yang menulis teologi negatif akan mengalami langsung momen-momen negatif itu sendiri. Kalau Tuhan tampak begitu negatif, mengapa kita masih terus menulisnya?

Ada satu pertanyaan Levinas dalam Totality and Infinity yang berbunyi demikian: “Dapatkah kita membangun objektivitas dan universalitas di atas diskursus?” Pertanyaan itu dikemukakannya ketika bertanya tentang hubungan antara “etika” dan “diskursus”.

Menulis tentang Tuhan (“menulis tentang ‘Tuhan’”, dengan tanda petik, karena bisakah kita benar-benar menulis tentang-‘Nya’?), jika itu mungkin, hanya bisa melalui dua jalur: jalur diskursus, dan karenanya intensional, entah untuk keperluan dogmatik-pengajaran, untuk keperluan dialektik, ditujukan untuk memberikan kepada bahasa kekuatannya untuk bertukar-tangkap dengan objeknya; atau jalur non-diskursif, apofatik, dan karenanya non-intensional — sejauh apofatisme ini tidak searti dengan tindak menegasi. Jalur kedua tentu tidak saya lalui; karena kalau tidak, buku itu hanya akan berisi halaman-halaman kosong (tapi adakah suatu ‘tulisan apofatik’?). Buku itu memilih jalur pertama, jalur diskursus, dengan segala positivitasnya tetapi juga jahitan-jahitan retakannya. Diskursus itu intensional: ia menginginkan sesuatu, terarah kepada sesuatu — salah satunya keperluan diskursif mendemonstrasikan “kritik” itu, “kritik metafisika ketuhanan”.

‘Tuhan’ adalah eksterioritas, menulis tentang-‘Nya’ berarti mengandaikan bahasa mampu menulis tentang eksterioritas, dan itu kontradiktif dengan sifat intensional di dalam bahasa itu sendiri. Jika menulis tentang-‘Nya’ itu mungkin, jika kita lagi-lagi tidak ingin mengulang gaya diskursus teologi yang logosentris, itu mesti terjadi di perbatasan antara keinginan menangkap eksterioritas itu dan kesadaran akan ketidakmemadaian kapasitas bahasa sendiri untuk menjaring eksterioritas itu. Menulis-‘Nya’ adalah ibarat ingin mewadahi lautan dengan sebuah mangkuk. Di perbatasan itu, yang Bung sebut dengan “ketergetaran” itu terletak.

Mengapa kita terus menulis-‘Nya’, mungkin karena kita ingin mengalami ketergetaran itu. Kita menulis tentang ‘Tuhan’, sebagaimana kita tak henti-henti menulis tentang hal-hal yang ekstatik dalam hidup: filsafat, seni, mimpi, perlawanan, rasa sekarat…

Ada beberapa kegelisahan yang saya tangkap dari pemikiran teologi negatif yang Anda tawarkan di buku ini. Jika memang teologi negatif melampaui teologi positif yang metafisis, bagaimana ia berbicara Tuhan secara metafisis, lebih tepatnya kritik metafisis? Maksudnya begini. Teologi positif sangat positivis dalam memandang Tuhan, menempatkan Tuhan dalam kategori-kategori yang bisa dibayangkan (Tuhan Ada atau Tuhan Tidak Ada = positivisasi), sementara teologi negatif melampaui itu semua. Problemnya tentu saja paradoks. Jika memang teologi positif berusaha membawa Tuhan ke ranah konseptual, yang bisa dikonseptualisasikan dan dipositivisasi, lalu bagaimana teologi negatif ingin mengatakan bahwa Tuhan tidak bisa dikonseptualisasikan? Bukankah dengan demikian akan tampak bahwa, dibandingkan jenis teologi itu, teologi negatif seolah melakukan penghindaran untuk membicarakan Tuhan, bukan menganalisis Tuhan? Ia hendak mendekati Tuhan, tapi ia tak pernah benar-benar mendekati. Atau memang “penghindaran” itu yang ingin dicari teologi negatif untuk mengafirmasi keterbukaan terhadap Yang Tak Terbatas, Yang Tak Tersentuh, Yang Jauh, Yang Asing, Yang Misterius?

Ada satu latar belakang yang harus disinggung sebelum menanggapi pertanyaan-pertanyaan itu, yaitu bahwa apa yang selama ini disebut “teologi negatif” selalu diterima dalam kerangka mistisisme, atau dimasukkan ke dalam rubrik mistisisme, lebih buruk lagi Hermetisme. Terjadi domestifikasi teologi negatif ke dalam mistisisme. Suatu domestifikasi, penjinakan, yang berlangsung bersamaan dengan eksklusinya dari filsafat.

Pertama, teologi negatif diidentifikasi dengan pengalaman mistik atau “spiritual” itu sendiri. Itu membuatnya masuk ke dalam wilayah a posteriori yang tidak mungkin dibicarakan; lebih-lebih di kalangan para mistikus sendiri atau para penganutnya, ada semacam pentabuan bahwa membicarakannya merusak kesakralan pengalaman itu sendiri. Dalam titik tertentu, sebagaimana ditulis Derrida dalam Sauf le nom, teologi negatif, karena sifatnya yang khusus, yang selalu resisten terhadap wicara, pembicaraan, terhadap kata-kata—teologi negatif itu diidentifikasi dengan kategori “yang indah” atau “yang sublim”, dengan demikian, suatu kategori estetis yang sekunder terhadap logos, karena lantaran “kesubliman”-nya itu maka ia tidak mungkin ditematisasi ke dalam suatu rubrik pengetahuan atau kritik pengetahuan tertentu. Derrida mengutip kata-kata Leibniz: teologi negatif tampak seakan-akan, dibandingkan dengan diskursus metafisika, sebagai “tambahan” atau “aksesori” (im übrigen schönen Gedichten).

Domestifikasi itu dengan demikian berlangsung ganda; di satu sisi, ia dilakukan oleh para mistikus, dengan upayanya menjaga kemurnian pengalaman “negatif” dari konseptualisasinya oleh diskursus, oleh pengetahuan; di sisi lain, dilakukan oleh para filsuf, yang menempatkannya secara sekunder dalam hubungannya dengan metafisika dan teologi sendiri, dan karenanya mengafirmasi kemustahilan tertentu teologi negatif untuk menjadi suatu padanan seimbang atas metafisika, atau suatu kritik metafisika yang adekuat. Daripada menegaskan heterogenitas teologi negatif terhadap teologi dan filsafat, sebagian penulis – yang tak lain adalah para teolog atau sejarawan teologi; dalam buku saya menyebut dua nama, Yves Congar dan Karen Armstrong – karena desakan domestifikasi itu, melakukan gestur lain: mengidentifikasi teologi negatif sebagai “kebalikan” simetris dari teologi, dengan kata lain, suatu versi lain dari Yang Sama.

Saya menyadari hal-hal itu, dan karenanya apa yang coba buku itu upayakan adalah mengambil jarak terhadap gestur-gestur itu dengan, sebisa mungkin, tidak menjadikan teologi negatif suatu hal di luar filsafat, dengan kata lain, tetap dalam eksklusinya dari diskursus. Dan dengan, sebisa mungkin, tidak menjadikan teologi negatif suatu hal yang inheren di dalam filsafat atau teologi sendiri (Congar dan Armstrong), atau inheren di dalam sistem filsafat atau teologi tetapi sekunder (Leibniz). Walaupun saya seperti menarik kesejajaran antara “epistemologi” teologi dan “depistemologi” teologi negatif di Bab 3, atau antara metafisika ketuhanan teologi dan kritiknya dalam bentuk teologi negatif, kesejajaran itu tidak “simetris”, kecuali sekadar penampakannya. Kesejajaran itu merupakan pantulan simulakrum dari disproporsi keduanya, asimetrisitas, dan ekses salah satunya atas yang lain.

Di sini, pertanyaan Bung masuk. “Jika memang teologi negatif melampaui teologi positif yang metafisis, bagaimana ia berbicara Tuhan secara metafisis, lebih tepatnya kritik metafisis?” Atau saya bahasakan secara lain, “Bagaimana teologi negatif melakukan kritik metafisika, jika ia secara natural di luar metafisika?”

Jawab saya: dengan inskripsi. Dengan memasukkan teologi negatif ke dalam bahasa dan struktur metafisika itu sendiri, tetapi tetap dengan menjaga eksterioritasnya, keganjilannya, dan kelainannya, yang memungkinkannya tertolak untuk menjadi bagian inheren dari filsafat atau teologi itu sendiri. Inskripsi ini merupakan sebuah operasi différance.

Untuk memasukkannya ke dalam bahasa dan struktur metafisika, teologi negatif harus juga berbicara tentang ‘Tuhan’ secara metafisis dan membangun pengandaiannya secara metafisis (itu yang coba saya bangun di bagian kedua dari Bab 3), namun pembicaraan dan pengandaian metafisis itu hanya mungkin terselip di dalam metafisika sebagai suatu keserupaan yang tak serupa, suatu kemiripan yang tak mirip, suatu bahasa yang memiliki parole yang sama tapi langue berbeda. Dalam arti itu, “konsep” bagi teologi positif, yang menjadi sarana bagi teologi untuk menangkap esensialitas realitas ketuhanan, juga merupakan “konsep” bagi teologi negatif, tetapi dengan tujuan lain, yaitu sebagai sarana untuk mengosongkan, menggeser (displace), menegasikan (sejauh dalam arti me-non-eksistensi-kan), mengurangi, mereduksi, dan mengangkat, setelah mengosongkannya, esensialitas itu, melalui gerak transendensi, kepada tahap yang melampaui (beyond) konsep dan membebaskan diri dari konsep itu sendiri – “Tuhan” sebagai yang tak terkatakan dan yang tak terpikirkan. “Afirmasi” bahwa “Tuhan” tidak dapat dikonseptualisasikan ada pada titik ketika pelampauan atas konsep itu terjadi, tetapi bukan afirmasi sejak awal yang menutup diri dari pembicaraan tentang Tuhan apapun. Ia bukan afirmasi yang dogmatis.

Dilihat dari sini, teologi negatif tidak hendak melakukan penghindaran. Ia tidak berbicara dengan “bahasa diam” kecuali setelah melewati rimba bahasa yang tak lain adalah rimba konsep itu sendiri. Ia tidak berbicara dengan “bahasa diam” kecuali setelah melalui, dan harus selalu melalui, pekat dan gaduhnya kata-kata. Dengan catatan, kecuali apabila penghindaran yang dimaksud adalah suatu pelepasan atau suatu upaya untuk kabur, yang oleh Levinas diistilahkan dengan évasion: kabur dan/atau lepas dari “aku” menuju Yang Lain, dari Ada yang objektif (being, être) kepada Ada yang khusus, “ada di sana” (there is, Il y a) yang tak lain dari situs pertemuan dan konfrontasi dengan alteritas radikal Yang Lain. Jadi, teologi negatif tetap dapat berbicara dan menganalisis objeknya, yang juga objek teologi (‘Tuhan’) sejauh ia dapat mensingularisasi objek tersebut dari Ada yang pertama kepada Ada yang kedua.

Menurut Anda, mungkinkah pengungkapan atau ungkapan terhadap Tuhan itu bisa kita hindarkan?

Bisa, sejauh orang mengungkung diri dalam batas-batas ateisme – seorang ateis dapat tidak berbicara tentang ‘Tuhan’, walaupun berpikir tentang ‘Tuhan’. Di perbatasan ateisme, pengungkapan tentang ‘Tuhan’ tidak dapat dihindari, walaupun hanya dalam gumam-gumam pendek yang tidak utuh atau fragmenter. Hanya di dalam batas-batas keimanan pengungkapan itu menjadi sama sekali tak terhindarkan, dan adalah tugas teologi negatif membawa keniscayaan pengungkapan ekspresif dan intensional atas ‘Tuhan’ itu menjadi kemungkinan, suatu pilihan, sehingga ekspresivitasnya tidak mesti identik dengan kata-kata tetapi juga dengan diam dan gerak, dengan bahasa hidup yang tidak menggunakan medium verbal sebagai satu-satunya bentuk ekspresinya.[]

Yogyakarta – Paris, 2013-2014

(Muhammad Al-Fayyadl)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar