Jumat, 29 Mei 2015

Sepasang Sepatu dari Tuhan

Sepatu ini saya beli pada akhir 2011. Saya nggak yakin jenis kelaminnya apa, fungsi alias peruntukannya yang sesuai khittah untuk apa. Yang jelas saya merasa sepatu ini "gue banget", sehingga saya memakainya kapan saja dan di mana saja. Mulai aktivitas sehari-hari semacam nongkrong sama teman, ngurusi pekerjaan (ketemu penulis dan desainer, ke percetakan, juga ke distributor), jalan-jalan ke pantai sama anak-bojo, hingga ke kondangan dan acara-acara formal, saya pakai sepatu ajaib ini.

Bahkan tak lupa saya menghajarnya juga dalam perjalanan-perjalanan jauh. Debut pertamanya di awal 2012 waktu saya ditraktir bos saya ke Hongkong-Shenzhen-Macau. Asal tahu, tiap kali travelling, saya ngirit setengah mati dan memilih berjalan kaki meski untuk tujuan yang jaraknya berkilo-kilo sekalipun. (Tentu bukan cuma buat ngirit ding, melainkan juga biar lebih maksimal menelusuri berbagai sudut.)

Awal 2013, ketika saya ikut teman-teman menggerayangi India dengan porsi jalan kaki yang berlipat lebih ekstrem dibanding trip Hongkong, tak lupa saya mengajak lagi sepatu ini. Jadi bisa kalian bayangkan: usai berhari-hari si terumpah wasiat menjejaki jalanan dari pinggiran Sungai Gangga hingga keramaian New Delhi yang penuh berceceran tahi sapi di setiap sentimeter itu, sepulang ke Jogja ia dengan anggunnya melangkah masuk ke gedung Grha Sabha Pramana untuk kondangan manten--yang berlimpah makanan lezat di sela-sela manusia berbaju bagus dan beraroma wangi. Hohoho.

Dia memang sepasang sepatu yang siap menemui segala jenis makhluk Tuhan.

Saking cintanya saya kepada sepatu ini, saya sempat membeli satu lagi yang persis sama. Namun malang sekali, setelah beberapa waktu saya pakai ternyata sepatu yang baru tidak sesempurna yang lama. Mungkin ini bukan semata perkara bentuk alias jasad. Ini sudah wilayah.. ruh. Soul. Spirit. Dari situ setidaknya saya belajar paham, bahwa bahkan sepatu-sepatu pun enggan dimadu.

Kemarin, sebelum cabut jalan-jalan pada etape kali ini, saya kembali mengelus-elusnya. Sudah bulukan bener, saya tahu itu. Sol-nya pun sudah tepos banget, sehingga kehilangan daya cengkeram untuk menempuh jalan kebenaran--yang kerap kali terlalu licin dan rentan membuat kita terpeleset ke jurang kekhilafan.

Tapi.. saya sangat paham arti kesetiaan (uhuk). Maka selain saya lap lagi, saya pun membeli sebilah cutter tajam. Saya telentangkan sepasang sepatu ini sampai terlihat pasrah sepenuhnya. Kemudian dengan sepenuh keyakinan saya goresi sol-nya, hingga membentuk guratan-guratan baru. Ya, ini semacam vulkanisir.

Insya Tuhan, besok pagi saya terbang pulang. Terlalu ribet jika ke Jogja dulu, saya pun memutuskan njujug Jakarta. Jadi sehabis saya pakai bermandi debu semingguan ini, si sepatu terkasih (ditemani celana ijo andalan yang berhari-hari nggak ganti dan kulit yang gosong menghitam kepanasan) akan langsung menemui teman-teman di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki. Jangan lupa: Ahad, 31 Mei 2015, jam 15.05.

Iya, sebenarnya ini cuma iklan acara. Boyeh, kaaan?

(Iqbal Aji Daryono)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar