Kamis, 20 Agustus 2015

Diskresi

Kita makin prihatin dengan polisi yang terus mrepet, meski argumen hukumnya sudah dikuliti banyak pihak. Bahkan sampai website Setkab. Meski menurut saya ini agak berlebihan. Kecuali ini ‪#‎kode‬ bahwa Negara sedang mempertimbangkan meletakkan polisi di bawah Kemendagri seperti halnya TNI dan Kemenhan. Seperti lazimnya di banyak negara.

Sikap ngotot polisi ini karena kasus di Yogya memang menyerempet dua hal pada diri mereka: egonya sebagai pihak yang (merasa) paling paham hukum, dan ketakutannya kehilangan pundi-pundi jasa pengawalan. Karena itu polisi terus menerus menyatakan bahwa mereka punya diskresi (keleluasaan).

Membandingkan konvoi moge dengan arus mudik makin menunjukkan kualitas polisi kita. Mudik adalah lonjakan arus lalu-lintas yang bila tidak diatur --dan gagal melihat mana yang harus diprioritaskan-- akan menimbulkan kesemrawutan dan gangguan ketertiban umum.

Lampu merah yang telah diatur dengan durasi tertentu (atau satu jalur jalan saja) belum tentu sanggup mengatasi lonjakan kendaraan di ekor perempatan atau persimpangan lain (yellow box). Karena itu kadang lampu merah 'diabaikan' dan sistem buka tutup jalan atau contra flow diberlakukan. Dalam rangka itu, polisi bisa memecah atau mengatur panjang-pendek konvoi dengan menempatkan patwal di depan. Jadi semangatnya mengatur volume atau arus. Bukan semata 'buldozer' bagi pengguna jalan lain.

Dalam kasus seperti ini, maka prioritas diberikan kepada "kepentingan umum yang lebih besar". Karena itu traffic engineering arus mudik berbeda dengan arus balik, meski di titik yang sama.

Itulah makna diskresi yang diatur pasal 18 UU Kepolisian ( ayat 1, “Untuk KEPENTINGAN UMUM pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri”).

Diskresi itu pun syaratnya adalah Kode Etik Polisi dan peraturan perundangan lain. Bukan suka-suka. Di pasal 16 UU Kepolisian, meski konteksnya untuk penyidikan pidana, diskresi bahkan harus "masuk akal" dan "tidak boleh melanggar HAM".

Jadi diskresi bukan blanko cek kosong.

Pertanyaannya sekarang: atas nama akal (nalar) mana yang lebih penting, aktivitas masyarakat umum Yogya dengan berbagai urusan, atau parade moge yang masalahnya mereka ciptakan sendiri? (4.000 motor menuju titik dan melalui jalur yang sama, dan tidak ingin putus konvoinya --untuk show of force marketing pabrik otomotif?).

Seberapa sulit bagi polisi memaksa panitia memecah rombongan menjadi unit-unit kecil yang tidak perlu menginjak-injak 'yellow box' pengguna jalan lain. Ini juga berlaku pada konvoi fun bike, dll.

Jika polisi mengeluarkan izin pelaksanaan acara tertentu yang bakal mengganggu kepentingan umum (di luar pasal 134 UU LAJ), mereka mestinya juga menyosialisasikan rute kepada masyarakat dan menjaga titik yang terhalangi untuk membantu mengarahkan ke jalur-jalur alternatif. Sebab itulah yang dilakukan polisi kita saat musim arus mudik. Saat karnaval tujuh belasan. Itulah diskresi.

Maka membandingkan konvoi moge dengan arus mudik adalah dis-ereksi nalar.

(Dandhy Dwi Laksono)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar