Minggu, 30 Agustus 2015

Tarli

Seorang sopir truk di Ostrali yang saat itu sedang pulang kampung ke Indonesia untuk menyelesaikan bukunya, bertanya sekaligus memberi informasi kepada saya tentang Tarli Nugraha. Sopir truk itu bingung sekaligus kagum.

Setiap hari, Tarli 'mewajibkan' dirinya untuk membaca minimal 200 halaman buku, membaca minimal 5 koran, membaca kliping majalah dan koran selama minimal 2 jam, menulis refleksi harian minimal 1.000 kata, baru kemudian mengerjakan yang lain: menulis makalah, mengisi blognya yang berjumlah 5 buah, membuat status fesbuk yang apik, dan menulis puisi. Kecuali yang membuat status fesbuk, semua itu sudah dilakukan selama 15 tahun tanpa henti sampai hari ini.

Maka tidak heran jika sebentar lagi dia akan menerbitkan 5 seri kumpulan pemikiran para ekonom Indonesia sepanjang masa. Masing-masing seri punya ketebalan 1.000 halaman. Semua sudah tuntas ditulis. Tinggal diluncurkan secara berkala saja. Buku seri pertama akan diluncurkan bulan September besok. Saya kira ini bukan hanya akan menyumbang babak penting tradisi keilmuan di Indonesia tapi juga mencatat rekor tersendiri. Sungguh mengagumkan.

"Kok bisa ya ada orang bisa bekerja seperti Tarli?" tanya sopir truk kawan dekat saya itu, yang bukunya akhirnya kelar, dan sekarang nangkring sebagai buku best seller.

Saya kemudian menjawab: Energi yang dimiliki Tarli hanya bisa muncul dari sejenis trauma dan cinta yang kelewat keras kepala kepada seseorang. Mungkin seorang perempuan. Dia lalu membangun istana yang apik di kepalanya, sebuah tempat di mana dia bisa merasa bekerja sambil memandang lewat jendela berbingkai putih kepada perempuan yang dicintainya, yang sedang bermain ayunan. Sambil mengetik, dia bisa seakan-akan sedang ditunggui oleh perempuan kekasihnya itu dalam posisi tiduran di atas kasur sembari mendengarkan musik syahdu. Sesekali mereka beradu pandang dan bertukar senyuman.

Hanya cinta platonik yang bisa menggerakkan kerja besar. "Jadi jangan pernah berharap orang seperti kita bisa membuat karya seperti dia. Kita ini kan hanya sekelas orang yang jika patah hati hanya berumur lima hari. Apalagi kamu..."

Sang Sopir malah cekikikan. Sambil terus mendengarkan analisis saya selanjutnya...

Jadi nanti karya Tarli adalah sebuah mahakarya yang akan dipersembahkan kepada bangsa ini. Tapi itu nomor dua. Nomor satu, karya itu akan dipersembahkan buat seorang perempuan yang ada nun jauh di sana. Tapi sekaligus ada di sini, menyebar di semua sel kepalanya, dan di palung jantungnya. Cinta yang gaib dan agung.

Tidak lama lagi, Tarli akan pergi ke Jakarta. Dia diangkat menjadi konsultan ahli salah satu orang terpenting di negeri ini. Tentu saja karena kapasitas intelektualnya yang tak meragukan lagi.

Saya hanya bisa berharap sesekali masih bisa membaca status-statusnya tentang seseorang. Wujud cinta yang tinggi hati. Namun diekspresikan dengan cara rendah hati, seperti misalnya sedang berbincang hangat berdua di sebuah meja, sembari menikmati sarapan pagi.

Tabik, Bung Tarli...

(Puthut E.A.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar